Part 9 : Mas Riri

18.3K 780 109
                                    

Andrean Nugraha. Pria itu. Aku masih tak mengerti tentangnya. Kadang baik, kadang menyebalkan. Mungkin benar apa yang dibilang orang-orang, bahwa pria tampan itu lebih potensial melukai hati perempuan. Kadang melambungkan angan sampai ke awan, lalu dengan mudah menghempaskannya sampai jatuh ke lembah paling dasar. Dan itu sangat sakit.

Seperti yang kualami saat ini. Pria berkemeja toska dan celana jeans itu melakukan hal itu. Baru saja semalam kami tidur bersama--yah, meski hanya itu, tak lebih--lalu pagi ini, saat kami menikmati sarapan, ia pergi dengan terburu-buru usai menerima panggilan telepon dari wanita lain.

Aku tertawa miris menatap punggungnya menjauh, lalu menghilang di balik tembok. Selera makan seketika hilang, buyar. Sebegitu pentingnyakah Mayang baginya hingga harus meninggalkanku sendirian di sini? Di kantin rumah sakit yang penuh sesak dengan orang-orang yang menikmati kebersamaan dengan pasangan atau saudara. Hanya aku yang sendiri.

Sesak di dada ini membuatku sedikit tak bisa bernapas. Panas di relung hati dengan cepat merambat hingga mata ini ikut merasakan panasnya. Membuat genangan di sana hendak meleleh. Namun, sekuat tenaga kutahan. Ya, aku kuat. Aku tak akan menangis.

Kubereskan sisa makanan yang masih banyak. Menghabiskan sisa teh hangat yang tadi sudah dibayar, lalu bangkit. Kupikir memang sebaiknya pergi dari sini daripada terus teringat kepergian suami demi wanita lain.

Langkahku terhenti saat sampai depan kamar inap Bapak. Seorang pria berdiri di ambang pintu. Mengenakan setelan kemeja putih garis-garis yang lengannya dilipat sebatas siku dan celana jeans biru. Sebuah sling bag hitam menempel di punggung. Ia tampak ragu untuk masuk.

Lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahunan itu menoleh sesaat setelah aku berdehem.

"Cari siapa, ya, Mas?" tanyaku sambil mengingat-ingat karena sekilas wajahnya tampak tak asing. Seperti pernah bertemu, tapi, entah.

"Winda?" panggilnya dengan ragu.

Suara itu, aku mengenalnya. Mengingatkanku pada seorang anak lelaki di masa lalu.
.
.
.

"Mas Ri! Tunggu!" Aku berlari cepat mengejarnya. Sepeda butut yang dilajukannya berhenti seketika.

Ia menoleh. Pria berkulit cokelat dan berlesung pipit itu tersenyum.

"Kupikir kamu sudah berangkat duluan."

Meski dengan terengah, akhirnya aku bisa menyusul. Berdiri tepat di sampingnya, mengatur napas, lalu membalas senyumnya.

"Maaf, Mas. Tadi aku ke sawah dulu sebentar. Ngantar rantangnya Bapak yang ketinggalan."

"Ya, sudah. Ayo, naik! Kita berangkat sekarang!"

Sepeda jengki yang sudah karatan di sana sini itu melaju membawa kami berangkat ke sekolah yang jaraknya dua kilometer dari rumah. Rok merah yang kukenakan berkibar tertiup angin karena Mas Riri melajukan sepedanya dengan kencang. Takut kalau kami akan terlambat.

"Nda, maaf, ya. Besok aku sudah nggak bisa boncengin kamu lagi seperti ini."

Hatiku teremas erat mendengar kalimat permintaan maafnya yang memilukan ini. Aku tak bisa membayangkan hari-hari tanpa Mas Riri. Tetangga sebelah rumah sekaligus kakak kelas yang hampir setiap hari selalu bersama sejak kecil selama ini. Berangkat dan pulang sekolah selalu berboncengan seperti ini. Sesampainya di rumah, kami selalu mencari melinjo di halaman rumah orang yang jatuh berserakan. Dari satu tempat ke tempat lain. Sore hari, kami berangkat mengaji di mushala juga bersama-sama. Lalu kini, saat pria berambut lebat itu berpamitan padaku. Ia benar-benar akan pergi seperti yang telah beberapa kali dikatakannya di masa silam.

Aku menarik napas dalam. Mencengkeram rok merah, menahan genangan air yang hendak mendesak ingin menetes di pelupuk mata.

"Iya, Mas. Nggak apa-apa. Lagipula, aku bisa apa kalau memang itu sudah keputusan keluarga Mas Riri untuk bertransmigrasi."

Ranjang PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang