Part 4: Mayang

20.1K 862 108
                                    

Siapa Mayang? Namanya terdengar indah. Kenapa Gan Aan pergi saat mendapat panggilan telepon darinya? Bukankah dia bisa bicara di sini? Toh, aku juga tak akan mengganggu.

Aku masih menunggu. Beberapa menit kemudian, Gan Aan kembali ke kamar.

"Sudah selesai?" tanyanya sambil berjalan mendekat.

"Sudah, Tuan."

"Kalau begitu, sekarang kamu bawa ke sana, lalu disetrika." Pria itu menunjuk ke arah meja setrika di dekat dapur.

What! Yang benar saja! Kenapa tidak dari tadi? Jadi percuma saja kulipat kalau pada akhirnya disetrika juga! Emaaak ...!

"Tapi, Tuan, kenapa tadi tidak sekalian disetrika saja, jadi tidak harus dua kali kerja?" tanyaku mencoba meminta penjelasan.

Gan Aan tersenyum miring.

"Suka-suka aku, lah," ucapnya seperti tanpa dosa. Singkat tapi mengandung kepedasan level seratus. Setelah itu ia keluar meninggalkanku yang emosi jiwa.

Aaarrggghhh!

---oOo---

Seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Yah, memang beginilah garis hidupku. Mana mungkin benar-benar dinikahi untuk dijadikan istri oleh seorang juragan. Dari awalnya saja sudah jelas terlihat, aku dinikahi sebagai penebus hutang Bapak.

Di hari pertama masuk rumah ini sudah kentara sekali aku dijadikan pekerja. Ya, sudah. Biarlah. Lagipula, aku juga tak berharap lebih.

Usai menyetrika, dilanjutkan masak untuk makan siang. Beruntung sudah terbiasa melakukan tugas rumah tangga, termasuk memasak. Jadi, tak terlalu kesulitan. Apa pun bahan yang tersedia di lemari es, aku bisa mengolahnya menjadi masakan yang lezat. Apalagi, semua yang tersedia di sini merupakan produk-produk pilihan yang pastinya berbeda dengan yang biasa kumakan.

Tepat pukul sebelas, semua masakan sudah terhidang di meja makan. Nasi putih, udang saus tiram, tumis kangkung, telur ceplok, acar, dan kerupuk siap disantap.

"Sudah siap, Tuan," ucapku pada Gan Aan yang sedari tadi nonton tv sembari menungguku selesai memasak.

Ia segera bangkit dan mendekat ke meja makan.

"Sepertinya enak."

Senyumku mengembang dipuji seperti itu.

Melihat Gan Aan telah duduk manis di kursi makan, aku menyendokkan nasi ke piringnya. Disusul sayur, lauk, dan kerupuk.

Aku masih berdiri di dekatnya ketika ia menyuapkan makanan ke mulut.

"Hmm ... benar-benar lezat ternyata. Nggak cuma kelihatannya aja."

Syukurlah. Ternyata Gan Aan selera lidahnya hampir sama denganku. Aku jadi senyum-senyum melihat pria itu lahap menyantap masakanku.

"Kenapa cuma berdiri saja?" Suara rendah Gan Aan mengagetkanku.

"Eh?"

"Duduk! Ikut makan!" perintahnya.

"Boleh, Tuan?"

"Duduklah."

Akhirnya kami seperti sepasang suami-istri sungguhan. Makan bersama di meja makan. Me-sra. Ah, aku tersipu.

.
.
.

Baru saja kurasakan menit-menit mendebarkan bisa makan siang bersama pria keren ini, tiba-tiba harus terjeda ketika terdengar suara bel pintu. Bukannya menyuruhku, Gan Aan sendiri yang langsung berdiri kemudian berjalan cepat ke arah pintu depan.

"Biar aku saja, Tuan."

"Nggak. Aku aja yang buka."

Beberapa detik kemudian ia sudah menghilang di balik tembok. Baiklah, kulanjutkan saja makan siangku-sendirian.

Ranjang PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang