Part 14

14.7K 917 113
                                    

Dua hari telah berlalu. Selama itu pula aku tinggal di rumah sakit menemani Bapak. Tak ada Gan Aan. Hanya aku. Sendiri.

Entah apa yang membuatnya tak menampakkan wajah tampannya ke sini sejak kejadian terakhir. Mungkinkah semua telah berakhir sampai di sini? Apakah Gan Aan telah memilih Mayang sebagai wanita yang akan dilindunginya sampai akhir nanti?

Hatiku terasa nyeri saat memikirkannya. Terlalu sakit, terlalu sering air mata ini meleleh. Hingga kering, tak bersisa.

Hari ini Bapak diizinkan pulang oleh dokter. Keadaannya sudah membaik. Hanya tinggal pemulihan saja.

Aku sedang mengemasi barang-barang ketika Mas Riri datang. Sejak kehadirannya tempo hari, ia terus saja mengunjungi kami meski kadang hanya sebentar. Sekadar mengantar makanan untukku.

"Sudah siap, Nda?" tanyanya saat sampai.

"Sebentar lagi, Mas. Oh iya. Aku mau ke ruang administrasi dulu, ya, Mas. Titip Bapak."

"Mau ngapain?"

"Mau membayar administrasi."

"Nggak perlu, Nda. Tadi sudah aku bayar."

Langkahku seketika terhenti. Menoleh ke arah Mas Riri.

"Kenapa, Mas? Aku ada uang, kok. Aku sudah pegang kartu ATM dari suamiku."

Belum sempat Mas Riri menjawab, Bapak tiba-tiba menyahut. "Lho, nggak apa-apa, to, Win! Riri, kan, mau membantu. Kamu itu, kok, gitu. Pamali nolak rezeki!"

"Iya, Pak. Saya cuma mau membantu sedikit," timpal pria bertubuh tinggi dan berbadan sedang tersebut.

Aku sungguh tak habis pikir dengan sikap Bapak yang membuat jengkel. Selalu saja melakukan hal yang tak sesuai dengan prinsipku. Untuk apa menerima bantuan dari pria lain sementara aku sendiri mempunyai suami yang masih bisa membayar. Prinsipku, jangan sampai ada hutang  budi di antara kami. Namun Bapak ... ah, membuatku jengkel saja!

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Mau dijelaskan seperti apa pun, Bapak pasti lebih ngotot. Aku sudah hapal sifatnya yang keras kepala.

"Terima kasih, ya, Ri," ucap Bapak dengan wajah semringah.

"Tak perlu sungkan, Pak," sahut Mas Riri sambil mengulum senyum menatap ke arahku.

Jangan tersenyum manis ke arahku seperti itu, Mas. Nanti hatiku bisa goyah.

Segera kupalingkan wajah, menghindari tatapan maut pria muda cinta pertamaku itu.

.
.
.

Perjalanan sejauh empat kilometer ditempuh selama dua puluh menit menggunakan SUV mewah milik Mas Riri yang dibawanya dari Kalimantan.

Hari telah menginjak siang ketika kami sampai rumah. Mas Riri segera mengantar Bapak berbaring di kamar. Sedang aku langsung menuju dapur untuk membuat minuman dan menyiapkan makan siang yang tadi sempat dibeli saat perjalanan pulang.

Tak butuh waktu lama, tiga gelas teh hangat, satu mangkok bubur ayam, dan dua piring nasi padang telah siap di nampan, lalu membawanya ke kamar Bapak.

"Kalian makan di depan saja berdua. Soalnya Bapak habis ini mau langsung tidur. Capek."

"Makan dulu, Pak. Minum obat, baru tidur," ucapku mengingatkan.

"Iya, Bapak tahu. Sudah sana, kalian makan di depan saja."

"Baik, Pak."

Mas Riri segera menurut. Bangkit, lalu berjalan keluar kamar. Sedangkan aku masih menatap tajam ke arah Bapak.

Ranjang PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang