Part 10: Terluka

15.4K 850 165
                                    

"Nda, aku kangen sama kamu."

Hatiku berdesir seketika. Sejatinya, aku juga merindukannya. Pria yang selama bertahun-tahun selalu kusebut namanya di dalam doa. Namun, entah kenapa, aku bergeming.

Setetes air meluncur di pipi. Segera kuseka. Lalu berbalik. Melepas tangan Mas Riri yang menaut di telapak tanganku.

"Maaf, Mas. Kita bukan mahram."

Mas Riri terlihat sedikit terkejut. Namun kemudian segera menarik tangannya.

"Ma-af."

Aku menarik napas dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Metatap wajah pria berlesung pipit itu. Tatapannya masih sama seperti dulu. Teduh. Namun meski begitu, aku tak lagi bisa berteduh di hatinya.

"Mas Ri, aku minta maaf, tapi aku harus mengatakan sesuatu."

"Apa, Nda?"

Wajahnya berubah serius. Takut melukainya, tapi aku harus mengatakan yang sebenarnya.

"Aku ... sudah menikah, Mas."

Mata teduh itu membulat. Detik kemudian, terlihat mulai berkaca-kaca.

"M-menikah?"

Aku mengangguk lemah. Seperti tak kuat menahan tubuh, Mas Riri lalu duduk kembali di bangku taman. Kedua tangan mengusap wajah kasar.

Kuputuskan untuk segera pergi meninggalkannya daripada harus terus melihatnya terluka. Aku tak kuat melihatnya seperti ini. Ini terlalu menyakitkan bagiku. Dan juga baginya.

"Maaf, Mas. Aku harus pergi."

"Tapi, Nda ...."

"Maaf."

Bergegas kulangkahkan kaki meninggalkan taman. Berjalan cepat di lorong rumah sakit dengan derai air mata.

Ya Allah, ternyata sesakit ini rasanya. Melukai hati seseorang yang dicintai. Tak bisa bersama meski kami saling mencinta. Ya, Allah kuatkan hati hamba dan hatinya.

---oOo---

Motor ojek online yang kutumpangi akhirnya berhenti tepat di depan rumah Gan Aan usai menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit. Aku turun lalu membayar ongkosnya.

Terlihat mobil milik suami terparkir di carport. Sepi. Tak ada suara dari dalam rumah.

Alis sedikit berkerut ketika kusadari pintu depan terbuka lebar. Tak seperti biasanya yang selalu tertutup rapat kecuali ada orang di luar.

Pelan, berjalan masuk usai memastikan wajah tak terlihat sembab lagi dengan sedikit memolesnya dengan bedak. Selangkah demi selangkah. Entah kenapa dada berdebar-debar.

Mataku membeliak seketika saat sampai di ambang pintu. Menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, Gan Aan dan Mayang saling berpelukan di ruang tamu!

Mereka yang menyadari kedatanganku sontak menoleh. Gan Aan terkejut melihatku berdiri menatap ke arahnya. Seketika dilepasnya tubuh perempuan berambut panjang tersebut.

"W-winda! Ini-ini nggak seperti yang kamu pikirkan," ucapnya terbata.

Aku yang masih terkejut hanya tercenung.

Kulihat Gan Aan akan mendekat tapi terhenti di langkah pertama karena Mayang menahannya. Wanita itu memegangi lengan suamiku dengan erat. Seolah melarangnya mendekatiku.

Baik kalau begitu. Aku yang akan pergi.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku berbalik lalu segera pergi meninggalkan rumah dengan langkah panjang. Napas menderu, menahan sesak di dada. Terdengar Gan Aan berteriak memanggil namaku, tapi tak terlihat dia mengejarku. Aku tahu, dia pasti lebih memilih wanita itu. Wanita yang telah membersamainya selama bertahun-tahun. Apalah aku ini yang baru dikenalnya. Mana mungkin ia akan memilihku.

Ranjang PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang