Bagian 17: Lamunan

37 0 0
                                    

Lagi-lagi ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku segera bangun dan kembali tak melihat siapapun. Kulihat bu Sarah yang mengajar Bahasa Indonesia telah datang dan pelajaran segera dimulai. Tak seperti biasanya aku memperhatikan pelajaranku, aku sekarang sedang memikirkan perkataan Hendra tadi. Aku yang merasa tak ada hubungan dengan Nia kembali bertanya-tanya pada diriku sendiri.

"Apa hubunganku dengannya? Siapa dia? Kenapa dia seperti begitu dekat denganku?"

Banyak sekali pertanyaanku. Dan lagi, Hendra yang melihat hubunganku yang dekat dengan Nia, membuatku tambah bingung. Sedangkan aku sendiri tak merasakan sesuatu dengan Nia. Hanya perasaan aneh saja yang sempat kurasakan. Dan sekarang, aku berada pada situasi yang aneh itu kembali. Situasi aneh apakah ini? Apakah aku memang menyukai Nia? Namun aku tak memiliki perasaan apapun padanya.

Aku tak menyadari, bahwa bu Sarah memberikan pertanyaannya mengenai materi puisi yang sedang dia terangkan saat ini padaku.

"Abdi, coba kamu jelaskan yang dimaksud puisi Elegi."

Aku masih melamun. Karena tidak mendapat tanggapan dariku, bu Sarah memanggil namaku dengan nadanya yang sedikit lebih keras.

"Abdiii!"

Bu Sarah terus memanggilku sampai tiga kali. Aku hanya terus melamun hingga tiba-tiba Nia memanggil namaku, namun aku tak menanggapinya juga. Kemudian dia menyentuhkan jari telunjuk kananya pada badanku. Sontak aku kaget dan merasa sedikit geli, ku menoleh kearahnya. Dia memberikan isyarat padaku agar melihat kearah guruku yang sedang melihatku tersebut.

"Abdi, apa yang sedang kamu lamunkan?"

Aku hanya menjawabnya dengan nadaku yang datar.

"Gak apa-apa bu."

"Kalau begitu, sekarang kamu jawab pertanyaan ibu tadi. Kira-kira menurutmu jawabannya apa?"

Aku yang tak mendengarkan perkataan guruku sebelumnya kembali menanyakan pertanyaannya tersebut dengan nadaku yang datar.

"Tadi Ibu menanyakan apa ya?"

Sontak teman-teman dikelas tertawa akan hal itu. Aku yang masih bingung hanya bisa terdiam sambil melihat-lihat buku Bahasa Indonesiaku itu.

"Jadi kamu tak memperhatikan ibu dari tadi ya?"

Aku hanya menjawabnya sambil meminta maaf sambil tertunduk dengan nadaku yang datar.

"Iya bu, maafkan saya."

Bu guru yang merasa bahwa aku tidak konsentrasi dalam pembelajarannya tersebut memberikanku sebuah tugas.

"(Berpikir sejenak) Kalau begitu, ibu akan menyuruhmu membuat sebuah puisi mengenai lamunanmu tersebut sebelum pelajaran ini usai."

Aku hanya mengiyakannya. Lalu pembelajaranpun dimulai kembali. Kali ini aku memperhatikan pelajaran ini dengan baik dan seksama, karena kutakut nantinya tugas yang diberikan semakin banyak dan sulit.

Tiba-tiba Nia memanggil namaku, lalu aku menoleh kearahnya.

"(Memasang wajah bingung) Kamu tadi sedang melamunkan apa?"

Aku bingung harus mengatakan apa, aku hanya menjawabnya dengan nadaku yang datar tanpa melihatnya sambil menulis.

"Tidak ada."

Nia sepertinya tak merasa puas akan jawabanku tersebut dan bertanya kembali padaku.

"Yang benar Di?"

Aku yang merasa terganggu akan hal itu hanya memberikan isyarat untuk diam dengan menempelkan jari telunjukku di bibir.

"Ssssssst."

Lalu kulihat wajahnya yang cemberut itu kembali memperhatikan guru didepan. Aku kembali memperhatikan guruku sambil menulis hal-hal yang menurutku penting di buku catatanku. Hingga akhirnya jam pelajaran hampir usai. Bu guruku langsung menagih sebuah puisi mengenai lamunanku. Aku yang pasrah hanya bisa berdiri sambil membacakan puisiku tersebut dengan nadaku yang datar tanpa melihat mereka.

"Lamunanku. Aku bingung apa yang dimaksudkannya kepadaku. Pertanyaan demi pertanyaannya itu membuatku semakin bingung. Aku tak merasakan apapun mengenai hal tersebut. Hanya saja, apa yang membuatnya berpikiran seperti itu? Namun, aku sudah menjawabnya sesuai dengan pemikirianku. Itulah puisi lamunanku."

Mereka terlihat bingung dengan puisiku. Mungkin hanya aku dan Hendra yang mengetahui maksud dari puisiku tersebut. Tak lama kemudian bel istirahat berbunyi, bu Sarah mengakhiri mata pelajarannya. Mereka semua berbondong-bondong untuk keluar kelas. Hingga hanya tersisa aku, Nia dan Hendra.

Nia sedang menulis sesuatu di binder catatannya itu. Sedangkan hendra berjalan menghampiriku dan mengatakan hal yang sama sebelumnya untuk memastikannya sambil membisikkannya ditelingaku.

"Apakah yang kau katakan sebelumnya itu benar?"

Aku menjawabnya dengan nadaku yang datar sambil mengambil bekal dan air minumku ditas.

"Iya, kalau begitu aku mau makan dulu."

Lalu aku pergi meninggalkan Hendra dan Nia. Nia yang melihatku dengan Hendra sedang membicarakan sesuatu menanyakannya pada Hendra mengenai hal itu.

"Tadi apa yang kalian bicarakan."

Hendra yang terlihat sedikit gugup menjawabnya dengan nadanya yang agak aneh kepadanya.

"Ti tidak ada. Kalau gitu aku duluan Nia. Daaa."

Hendra melambaikan tangannya kearah Nia sambilberjalan agak cepat dan meninggalkan Nia sendirian dikelas. Nia membalasnyadengan melambaikan tangannya kepada Hendra. Setelah Hendra sudah pergi, Nia kembalilagi menulis sesuatu di binder catatannya tersebut.

Perempuan PelupaWhere stories live. Discover now