Cahayanya menghangatkan relung hati, mengalahkan udara dingin yang berhembus menyentuh kulit. Di bawah langit muram, sejauh mata memandang, yang Seulgi dapatkan hanya sebuah ketenangan. Tentram bila memanjakan kedua matanya menatap lampu-lampu kehidupan di depan sana. Ia merasa lebih baik jika berada di atas atap seperti ini. Sebab rumah bukan tempat yang nyaman untuk pulang. Rumah bukan tempat ia bisa menenggelamkan rasa penatnya. Bukan tempat paling membahagiakan sejak ia ditinggalkan oleh ayah angkatnya yang sungguh tak bisa menerima kehadiran vampir seperti Seulgi.
Terkadang ia bertanya-tanya; dari sejumlah lampu kehidupan yang ditatapnya, adakah vampir yang bernasib sama? Adakah seseorang yang menganggap rumah bukanlah segalanya?.
Seulgi terpaku cukup lama, ia masih lagi terbalut pilu. Menahan-nahan betapa pedihnya hati yang tergores berkali-kali itu, lebih sakit dibanding luka cambuk yang membekas pada belakang punggungnya saat ini. Air muka tak kunjung henti-hentinya mengalir. Menambah luka dan sesak saja.
Mengingat sebuah lontaran kebencian, caci maki dari seorang ibu, membuat kering kerongkongannya tak bisa tertahankan. Perih. Maka tak segan-segan Seulgi terisak dalam kondisi kedua mata yang telah sembab.
Mengatakannya begitu kasar, sang ibu mencaci dengan perkataan yang cukup kejam
"Dasar vampir tak berguna!! Semua gara-gara kau. Aku menyesal telah mengadopsimu!! Sungguh, aku menyesal!! Sampai aku matipun aku tidak akan sudi menganggap vampir seperti dirimu adalah anakku! Ingat itu, Kang Seulgi!"
Bukan hanya itu, tetapi Seulgi juga mendapatkan cambukan berkali-kali tanpa sebab yang jelas atau alasan yang pasti selain hanya rasa sebuah benci, amarah, kesal meluap-luap. Dijadikan barang pelampiasan atas sikap sang suami yang tak bertanggungjawab karena memilih pergi karena ia tak mampu memberinya keturunan. Menuntut perceraian demi bisa pergi merajut kehidupan baru bersama kekasih hati yang baru. Tentu saja, Seulgi paham tentang rasa sakit itu. Pilu yang menikam ibunya sampai menjadi separuh tidak waras. Tapi ia juga tidak mau jika malah dijadikan sebagai barang pelampiasan ibunya.
Hal itu kembali membuat pikiran Seulgi mengembara. Jauh, menyusur perasaan yang paling dalam, bahwa ia sampai berpikir; mengapa ia harus dilahirkan? Mengapa ia tidak dilahirkan sebagai manusia? Sepintas rasa iri pun timbul dalam emosi yang belum stabil. Namun Seulgi berupaya agar dapat menahan kesedihannya kali ini. Menarik napas dalam-dalam sebelum ia membuang semuanya dalam satu kali helaan. Bagaimanapun, Seulgi akan tetap bersabar.
Memakan waktu bermenit-menit untuk dapat melebur ke dalam suasana tenang. Setelah cukup memudar emosinya, Seulgi dikejutkan oleh suatu getaran yang berasal dari ponsel genggamnya. Maka ia segera mengeluarkan benda itu dari kantung celananya. Menatap jelas nama seseorang yang terpampang di balik layar. Tak mau menunjukkan kesedihannya, Seulgi menjawab seolah ia tidak mengalami masalah apapun.
"Ada apa, Lisa?"
"Aku ingin beritahu kalau tadi kami latihan basket untuk kompetisi olahraga nanti. Wendy dan Joy katanya tadi pergi ke rumahmu, tapi kau tidak ada"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHED | VOL I [JENLISA] • SUDAH TERBIT
Fantasy[DITERBITKAN] High rank🏆 1 #yoonalim 26/02/20 2 #gxg 26/11/19 Lisa mempelajari sebuah buku berjudul Menschen Und Vampire, yang ditulis langsung oleh Louis Charlotte. Dimana Louis menceritakan tentang kisah percintaan seorang vampir yang memiliki au...