8 회 [A Kisses]

10K 787 45
                                    

|Teach Me Brother [Nomin] 👨‍❤️‍👨|
🔎 Original Story From ZiyaHaiiro 🔍
📝Remake By Let_Me_Rest 📝























































































[Jaemin P.O.V]

"Inilah yang membuat gue gak mau kasih tau lo kebenarannya. Lo akan mengasihani gue, dan tiba-tiba lo membalas perasaan gue. Sebelumnya lo bilang kalau lo gak bisa cinta sama gue, sekarang malah bilang cinta. It's useless now, Nana." Jeno mendorong gue pelan. Serasa dilepasin kek gini buat gue ngerasa bersalah banget.

"Bukan gitu, kak!" gue kembali narik lengannya biar deket ama gue. "Lo salah paham! Gue gak maksud ngomong gitu! Gue cuma..." nah kan gue bingung mau ngelanjutin apa. Mana ini air mata ngalir terus gak bisa dibendung. Gue juga salah sih karena mikir kalau gue gak bisa cinta sama kak Jeno, secara dia itu cowok apalagi kakak kandung gue sendiri. Tapi ngelihat kepergian Jeno gini, buat sakit hati Adinda.

"Cuma apa? Cuma bercanda Na? Kalau lo mikir gue sebodoh itu, lo salah. Iya gue tau, lo gak bakal bisa cinta sama gue, lo sudah bilang itu kemarin dan gue maklumi. Tapi ini? Gue yakin lo sudah dikasih tau sama Nenek jadi lo tau segalanya, dan sekarang bilang kalau lo cinta? Haha, gue serasa dimainin," Jeno tertawa hambar. Melihat gue dengan manik matanya yang konon bisa menghipnotis seluruh cewek di sekolah. Uuh, i'm embarrassed. Bukan karena dia memang bisa hipnotis gue, tapi malu ngingat yang kemarin. Yak, bisa dibilang bohong sama diri sendiri.

"Gue nggak kayak yang lo pikirin! Bukan karena gue ngasihani lo, gue sampai senekat ini bilang cinta sama lo! Gue gak serendah itu, kalau gue tau dari awal, gue sudah cegah lo ngorbanin diri! Gue tau rasanya ditolak setelah suka bertahun-tahun, gue tau kak! Tapi please, percayalah kalau gue beneran serius!"

Jeno berbalik membelakangi gue. Bahkan dia gak jawab kata-kata gue tadi, kemudian berjalan pelan ke arah mobil. Gue yang gak mau kalau masalah ini gak tuntas, akhirnya mencoba narik dia lagi. But... gue gak tau ini batu darimana tapi gara-gara benda abiotik itu gue tersandung— tepatnya tersungkur. Gue meringis pelan, karena secara gak sengaja lutut gue yang hanya memakai celana gak sampai lutut ikut terseret semen yang gue pijak.

"Nana?!" Jeno kaget dan reflek menoleh. Seenggaknya dia gak jadi masuk mobil, the power of stone. Kak Jeno tanpa aba-aba langsung gendong gue kayak di shoujo manga, yang heroinenya digendong ala bridal style itu. Gue mengalungkan kedua tangan gue di jenjang lehernya. Mainstream sih, tapi sensasinya luar biasa apalagi kalau yang gendong adalah kak Jeno. Mimisan kalau lo ngaku cewek dan ganti posisi gue di sini!

"Kak... gue bisa jalan sendiri, lo cukup memapah gue aja..." ucap gue pelan, nenggelemkan kepala gue di leher Jeno. Masalahnya kita melupakan seseorang yang natap kelakuan kami daritadi— termasuk ucapan-ucapan yang sangat berfaedah barusan. Siapa lagi jika bukan Nenek tersayang.

Gue 100% sadar Nenek ada di sini, berdiri di dekat pintu masuk. Gue yang masih nyembunyiin muka, gak berani lihat Nenek. Gue takut Nenek marah besar mengetahui cucunya saling mencintai. Tapi muka gue lebih panas lagi di posisi ini karena bau tubuh/parfume yang dipakai Jeno menelusup masuk ke hidung gue. Namun, belum tentu gue yang kek nutup mata gini gak akan dengar obrolan mereka.

"Jadi seperti ini hubungan kalian?" tanya Nenek. Gue semakin nenggelamkan muka gue, badan gue bergetar. Gue takut Nenek akan akan membenci gue.

"Ya, apa Nenek mempermasalahkannya?" Kak Jeno kali ini yang bertanya.

"Untuk apa Nenek mempermasalahkan? Kalau saling suka ya suka saja, kalau kalian bahagia kenapa tidak? Hust...hust.., cepat ke dalam sana Jeno, Nana telinganya sampai memerah begitu." Nenek terdengar terkikik geli. Perasaan lega karena dugaan negatif gue dipatah oleh ucapan wanita paruh baya yang paling gue sayang itu— setelah Mama.

Jeno berjalan masuk ke dalam rumah. Gue sempat mengintip ke arah belakang, Nenek tersenyum dengan keriput-keriput yang menghiasi wajahnya. Gue semakin mengeratkan tangan gue, setelah ini kak Jeno bakal pergi ninggalin gue. Semakin gue memikirkannya, gue pengen kembali nangis. Sebut saja gue cengeng, gue gak masalah. Tapi itu kenyataannya. Ini lebih menyedihkan dibanding gue dapat nilai rendah di ujian matematika, ya walau gak rendah-rendah amat.

Saat sudah masuk ke dalam kamar gue yang kasurnya sudah gak karuan, Kak Jeno merebahkan gue di sana. Mukanya terlihat datar dan gak mau mencoba ngucapin sesuatu. Dia berdiri dan keluar dari kamar, kemudian dia kembali lagi dengan kotak P3K di tangan kanannya dan sehelai kain.

"Ngh..." ringisan pelan terdengar dari mulut gue. Sedikit perih setelah Jeno ngelap luka gue dengan kain bersih yang basah dan mengkompresnya.

"Harusnya lo hati-hati," ucap kak Jeno pelan sembari sedikit menumpahkan betadine di luka gue kemudian membalutnya dengan perban. Dari muka yang datar kek triplek tadi berubah seperti khawatir. "Kalau lo luka begini, gue gak bisa ninggalin lo gitu aja," sambung Jeno dan memeluk gue, gue pun membalas memeluknya juga.

"Ya sudah, lo gak perlu ninggalin gue. Di sini aja, lanjutin sekolah lo bersama gue. Lo juga kan belum lulusan, ngapain buru-buru ke luar negeri? Lo bisa kuliah di sana, tapi di tahun ketiga ini, lo lebih baik sekolah di sini dulu..." gue meremas baju di bagian punggung Jeno.

Akhirnya pelukan kami terlepas. Kak Jeno terlihat murung, dan seperti berpikir sejenak.

"Kalau bisa, gue ingin lo di sisi gue selamanya. Ngedengar pernyataan lo tadi buat gue seneng luar biasa. Gue gak mau ninggalin lo, tapi gue harus. Ini perintah Ayah demi kebaikan lo juga. Apapun yang gue lakukan gak sebanding dengan apa yang gue dapatkan. Gue dapat lo, adek yang paling gue cintai sekaligus cerewet. Apalagi yang gue harapkan selain itu?"

"Lo udah dapat gue kak, jadi bukannya sudah selesai?"

"Belum. Semua pertarungan ini belum selesai, gue harus bisa dapatkan tempat di mana kita hanya berdua. Tanpa ada gangguan, tanpa ada taruhan atas nama lo, tanpa ada orang yang berusaha nyakitin lo. Semua itu belum gue dapatkan kalau gue telah selesai sekarang—" ucap Jeno yang memejamkan matanya sebentar, kemudian ingin kembali menyambungkan kalimatnya. 

"—Gue cinta sama lo Na. Gak ada gunanya gue nyerahin kebebasan gue kalau bukan karena lo. Lo hanya perlu bersabar sampai gue berhasil mencapai tujuan gue. Di saat itu, apa lo masih mau menunggu?" pertanyaan Jeno ini buat gue gak bisa nahan bulir air di mata gue. Semuanya tumpah gitu aja (*'>д<).

"Tentu saja lah! Idiot Aniki!" gue gak tahu apa Jeno paham sama kata Aniki itu, yang pasti gue harus ngikutin apa yang dia bilang.

Jeno mengusap pipi gue yang basah, dan mengecup bibir gue. Diserang secara mendadak gak bikin gue nolak kak Jeno lagi, gue malah selalu membalas apa yang dia lakukan pada gue termasuk menikmati ciuman yang diberikannya. Jantung gue berdetak sangat kencang.

Jujur adalah pilihan yang terbaik. Kalau gue selalu nipu diri sendiri, dan selalu menahan diri gue untuk bilang sesuatu seperti saat di teras tadi, gue gak akan bisa merasakan ini.

Haah, sepertinya menunggu sehari saja akan seperti menunggu bertahun-tahun.


Aciee Dicium Kakak sendirii cieee... ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Di bibir pula (。♡‿♡。)

















































































































To Be Continued...

With Our Love 💌

ZiyaHaiiro
&
JisungDevian

Teach Me Brother [Nomin Ver]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang