BAB 5

21 2 0
                                    

Aku menyibukkan diri dalam kamar, memeriksa beberapa outline yang diberikan Mas Bagus saat aku mampir ke kantor kemarin. Memahaminya satu persatu, lalu menuliskan beberapa hal perlu kutanyakan pada Mas Bagus saat bertemu lusa.

Selepas solat Ashar aku kembali mengurung diri di kamar. Aku merasakan hawa manusia menyebalkan itu di rumah ini, mama belum pulang sedang mbak Nisa -orang yang membantu mama di rumah- belum kelihatan sejak kepulanganku tadi.

Aku menerka-nerka perkara apa yang manusia menyebalkan itu dan kang Abay bahas hingga sore seperti ini? Apa gerangan yang menyebabkan mereka terus bertahan di rumah ini? Kenapa pula harus manusia menyebalkan itu? Kalau difirkir-fikir, lucu sekali semesta ini, tiba-tiba saja mengirim si menyebalkan itu kemari pada hari ini. Ingatanku juga, kenapa pula masih mengingat hal tidak penting seperti ledekannya dulu? Terkadang aku tak menyukai ingatanku yang cukup baik ini.

Duh, sekarang kenapa  aku memikirkan hal-hal terkait si manusia menyebalkan itu?

Aku menghentak-hentakkan kakiku di atas kasur yang mengakibatkan seprainya berantakan, sedang wajahku kututupi dengan bantal yang kucengkaram dengan kuat, geram sendiri dengan isi kepalaku.

'klek', suara pintu dibuka menghentikan gerakanku menghentakkan kaki, dan mengangkat bantal dari wajah. 

"Teteh kenapa?" Tanya Harun yang berdiri di ambang pintu dengan alis yang hampir bertautan.

"Iihh, kalau mau masuk kamar orang itu ketok dulu pintunya," sungutku kesal tanpa menjawab pertanyaan Harun.

"Teteh udah makan? Aku laper," tipe-tipe Harun yang to the point. Ia berjalan mendekat lalu duduk dikasurku. "Masak gih, teh, aku laper ini," ucapnya lagi sambil menepuk-nepuk perutnya.

"Ogah, biasanya juga mbak Nisa nyediain makanan di dapur."

"Teh, ayolah. Lagian mbak Nisa lagi libur, trus kata kang Abay, teteh enggak keluar-keluar dari tadi, betah amat di kamar," sungutnya.

"Pantesan dari tadi enggak keliatan. Emangnya mbak Nisa libur dalam rangka apa?"

"Ya, mana kutahu, kan si mbak yang libur, bukan aku," Harun berdiri lalu menarik kakiku. "Masak teh, aku laper," ia memberengut.

"Iya iya iya, lepasin," ucapku kesal.

Harun dan rasa laparnya bukan kombinasi yang baik, ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan makanan, tengah malam sekalipun ia tak akan segan membangunkan mama ataupun Dika sekedar untuk memasakkannya mi rebus dengan telur setengah matang. Bukan Harun tak bisa masak, hanya saja ia akan kenyang dengan memasak. "Enggak mau masak sendiri, ntar kenyang duluan. Aku enggak jadi makan," begitu jawabnya kalau disuruh masak sendiri.

Sebakul nasi goreng tersaji di atas meja makan. Dika terlalu malas untuk memikirkan makanan apa yang lebih layak dimakan saat sore hari seperti ini. Selain itu, ia juga malas mendengar rengekan Harun yang terus mengatakan kalau ia lapar. Satu lagi, Dika tidak bisa masak dengan porsi sedikit, tangannya dirancang untuk membumbui masakan dengan porsi besar.

"Run, udah mateng. Makan!" aku berteriak, memanggil Harun yang entah di mana keberadaannya.

"Iya teh, bentar," balasnya entah dari mana pula. Sedang aku memilih untuk membawa sepiring nasi goreng dan segelas air ke kamar, tempat teraman untuk saat ini.

Papa dan mama tiba di rumah saat adzan Magrib berkumandang, aku yang baru selesai mengenakan pakaian buru-buru keluar kamar dengan piring kotor di tangan. Setelahnya aku langsung menuju ruangan khusus di dekat ruang tamu. Ruangan yang di desain seperti mushola dengan daya tampung sekitar 10 orang. Kami memang wajib salat magrib berjamaah, siapapun yang ada di rumah.

Aku dibuat terperangah saat memasuki ruangan dengan dinding bercat putih itu. Dia, si menyebalkan itu masih di rumah ini. Lagi, wajah tengilnya dulu berkeliaran dalam kepalaku. Aku ini terlalu sensitive, terlalu pengingat, dan terlalu pendendam.

Mamaku tercinta yang katanya kesepian dan merindukanku, nyatanya lebih memilih untuk menghabiskan waktu menjelang isya di ruang tamu untuk mengobrol bersama papa, dan Nugra –begitu mereka menaggilnya-, entah apa yang mereka bicarakan.

Aku mendaratkan tubuhku kasar di atas sofa di depan tv, kang Abay dan Haris saling bertatapan, lalu melihatku secara bersamaan. Raut wajah mereka menunujukkan pertanyaan "kenapa?"

"aku tu pulang demi Mama, ya. Sekalinya pulang dicuekin. Kesel lo ini," suaraku menggebu-gebu.

"Perasaan mama biasa aja, deh," itu suara Harun.

"Namanya juga ada tamu, ya wajarlah. Kalau kamu kan emang tinggal di sini, nanti juga bisa," yang ini ucapan kang Abay.

"lagian kamu kayak beda deh, biasanya juga ribut mulu sama mama," suara kang Abay lagi.

"Ck, ya beda lah, kang. Sekarang kan jarang ketemu mama," jawabku asal, padahal aku tau benar, serindu-rindunya aku pada mama aku tak pernah sampai seperti ini.

"Kayak anak kecil," si kecil Harun dengan mulut pedasnya.

Aku mendelik, mendekati harun, "Kamu bilang apa tadi?" aku menantangnya.

"Teteh kayak anak kecil. Ngambekan. Cemburuan."

"Tuh, dikatain anak kecil sama anak kecil," ledek Kang Abay. Ia berlalu pergi, meninggalkan kami yang adu mulut dengan disaksikan oleh TV yang menyala.

Selepas salat isya, masih di satu-satunya ruangan berwarna putih di rumah ini, mama menyikutku, "siapin makan malam," bisiknya.

Mulutku terbuka untuk menjawab, namun belum lepas suaraku mama sudah melanjutkan ucapannya "mama tadi dari restorannya calon mantu, trus dibawain makanan."

Dengan malas-malasan aku berdiri, melipat mukena lalu meletakkan pada tempatnya. Aku hampir saja keluar dari ruangan bernuansa putih itu saat mama mengudarakan suaranya "Nak Nugra makan malam di sini, ya."

Rasanya aku ingin menyuruh si menyebalkan itu pulang sebelum mama memintanya untuk menginap. Kalau sudah begini, pasti mama punya niat terselubung, dan sasarannya pasti aku.

Semua orang sudah duduk di posisinya, posisi yang tak pernah berubah kecuali ada acara keluarga. Aku di samping mama dengan Kang Abay dan Harun di hadapan kami, sedangkan papa selalu di singgasananya. Namun kali ini berbeda, Harun mengosongkan kursi diantara ia dan kang Abay, untuk Nugra pastinya.

Aku sudah memasukkan sesuap nasi saat mama bertanya pada Nugra

"Nugra kok ngambilnya sedikit, enggak kayak biasanya."

"enggak kayak bisanya", kata yang terus berlarian di kepalaku, berarti ini bukan yang pertama kali si menyebalkan itu kesini. ini bukan kali pertama mereka makan bersama. Dan ini bukan pertama kalinya ia makan di meja ini.

Sekilas aku melihat senyumannya yang masih saja menyebalkan di mataku.

"Dia itu udah ngabisin nasi goreng sebakul, ma" kang Abay menjawab.

"Kirain udah bosen sama makanan dari restoran sendiri," balas mama.

Aku tersedak, tak tahu mengapa. Sekarang berganti nasi goreng, restoran, dan kata calon mantu yang berkeliaran di kepalaku. Air yang disodorkan kepadaku langsung kuminum hingga tandas. Kepalaku sakit, efek samping dari tersedak memang tidak pernah menyenangkan.

GenapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang