BAB 13

18 2 0
                                    


"Enggak mau tanya kenapa aku bisa ada di sini?"

"Bukan urusan gue."

"Di...," ucapannya tergantung sebab Rio yang meletakkan secangkir kopi hitam di hadapanku. Secangkir kopi tubruk dengan takaran khusus.

"Thanks, Yo," ia melirik Nugra, matanya berkedip jahil padaku yang kubalas dengan kedikan bahu.

"Kamu masih ngopi? Kopi hitam?"  dia menggeleng-geleng takzim, aku tak perduli.

"Enggak kapok sakit kayak kemaren?" nada bicaranya naik ½ oktaf,  kutulikan telingaku yang masih sehat ini.

Aku sudah pusing dengan naskah yang harus kubaca di depan mata, kenapa pula harus ditambah dengan ocehan si makhluk tengil yang berubah perhatian belakangan ini?

"Di, kerjaan boleh banyak tapi tetap harus prioritaskan kesehatan. Kalo lo sakit, kerjaan lo yang ada malah terbengkalai," kuseruput kopi hitam pekatku, sedikit membasahi kerongkongan.

"kerjaan lo yang harusnya bisa kelar dalam dua hari, lo tinggalin gitu aja karena sakit, cuma karena ngopi Di, ngopi!" aku masih menatap layar laptopku yang menampilkan naskah revisian salah seorang penulisku.

"Di, kamu dengar aku gak sih?" bingung deh sama laki satu ini, kadang lo-gue, kadang  aku-kamu, ga konsisten amat.

"Radhika, kamu dengerin gak sih?" ia mulai kesal sepertinya pemirsa.

Kualihkan pandanganku ke arahnya, tersenyum manis bin pongah, "udah ceramahnya? Udah selesai? Mau minum?" kuangkat gelas kopiku, kusodorkan kearahnya dan diambil dengan kasar oleh Nugra. Aku tak percaya, ia menghabiskan kopiku tidak lebih dari lima teguk, sehaus itukah? Tidak panas?

Aku mengernyit ngeri saat ia telah meletakkan gelas kosongnya. Kopiku berbeda, kopiku punya racikan khusus, kopiku lebih pekat, kopiku lebih kental, kopiku lebih pahit, dan Nugra menghabiskannya.

"Bang Yud, mau air putih dong," lelaki berwajah baby face tapi sudah berumur itu mengerutkan kening, lalu kubalas dengan menggerakkan dagu, menunjuk Nugra.

"Makasih ya, Bang," begitu ucapku setelah bang Yuda dengan baik hati menyerahkan segelas air berwarna bening dari balik bar.

"Nih minum air putih, pasti lengket banget itu,"

"Kamu fikir aku enggak bisa minum kopi, gitu?" nada bicaranya ketus banget.

"Ck, bukan gitu, ini minum dulu biar paitnya ilang," ini cowok ngapa sih? Mukanya jutek banget.

Dia diam. Aku diam. Bodo amat.

"Bang Yud, mau kopi satu lagi, ya. Spesial kayak tadi,"

"Kata Rio jatah kopi spesial lo cuma seminggu sekali. Ngabisin stock biji kopi tau, ga?" aku merengut. Kedai kopi macam apa ini, konsumen mau beli malah dilarang.

"Kok gitu?" aku tidak terima, aku kan mau menginvestasikan uangku pada mereka, kenapa ditolak?

"Gue bisa gulung tikar kalo lo terlalu sering pesan kopi spesial," Bang Yuda menarik handle  pada mesin kopinya.

"Tapi kan gue baa..." gelas dalam genggamanku beralih tangan, tandas seketika. "...yar." Ini manusia bikin kaget aja. 

"Pulang, Di," suaranya buat merinding, seriusan.
Aku masih mencerna kata-katanya saat ia dengan seenaknya menutup laptopku tanpa persetujuanku, memasukkan ke dalam tas khusus dan membawanya pergi. Aku turun dari kursi bar, berjalan cepat menyejajarkan langkah kami.

"Nug, laptop gue mau dibawa kemana?" dia berhenti di depan kasir tanpa menghiraukanku.

"Nug, balikin laptopnya. Plis. Gue mau kerja," aku udah mirip pengemis sekarang.

GenapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang