BAB 7

18 3 0
                                    

Pagi menjelang dengan langit abu keorenan, desau bising beriringan dengan langkah tergesa dari mereka yang kesiangan, Padahal jam dinding baru saja berdenting lima kali. Aku yang terjaga sepanjang malam kehilangan rasa kantuk setelah menghirup aroma teh melati yang baru kuseduh. Tanggung jawab sebagai editor mengharuskanku dikejar deadline naskah-naskah yang akan naik cetak, beruntungnya aku belum pernah mendapatkan penulis yang rewel, dan semoga tidak akan pernah.

Hampir saja cangkir tehku jatuh, lagi-lagi aku kaget dibuatnya. Bagaimana tidak, dari kamar kosku yang berada di lantai tiga ini aku melihat si menyebalkan itu sedang berbincang dengan bapak penjaga kos. Mulanya aku fikir halusinasi, tapi aku yakin bahwa aku dalam kesadaran penuh. Mataku memicing guna memperjelas wajahnya, dan tidak berubah, dia lelaki yang memfollow instagramku kemarin. Jika seperti ini, bolehkah aku berspekulasi yang tidak-tidak akan makhluk tengil itu seperti berpikiran bahwa ia adalah seorang penguntit? Hanya beberapa teman kampus dan sebagian rekan kerja yang mengetahui kediamanku di kota ini, tentunya keluargaku juga. Tunggu, jangan-jangan ini ulah mereka mengingat tingkah mama dan kang Abay yang lumayan menyebalkan akhir-akhir ini.

Dengan mata terpejam aku menggeleng-gelengkan kepala, berharap bayangan Nugra pergi dari otakku. Sungguh, aku menyesal telah melangkahkan kaki keluar dari kamar kos, pagiku jadi sedikit kacau.

Setelah rebahan yang berujung ketiduran, perutku yang kelaparan dengan senang hati menjadi alarm. Pukul 9 lewat, kulihat jam pada gawaiku. Dengan kemalasan yang melekat kuat aku berjalan ke kamar mandi sekedar untuk gosok gigi dan cuci muka. Setelahnya suara music dari speaker di kamarku berbaur dengan denting sendok yang beradu dengan piring. Terimakasih mama telah membawakanku banyak makanan untuk seorang pemalas ini. Jika tidak ada sambal yang hampir kutinggalkan kemarin mungkin sekarang aku sedang menahan lapar sambil menunggu keajaiban untuk kenyang, memang aku semalas itu untuk makan bila tidak ada makanan.

Aku hendak mencuci piring namun harus kuurungkan saat air kran hanya mengalir selama dua detik, kemudian tetes-tetes penghabisan. Aku ke kamar mandi, memutar kran di wastafle yang tak mengeluarkan air, begitu pula dengan showernya. Aku keluar kamar guna bertanya pada warga kos, atau jika rajin turun kelantai dasar untuk complain pada penjaga kos.

"De, air di kamar lo mati gak?" tanyaku pada Ade, mahasiswi perantauan yang katanya tajir melintir.

"Enggak tau mbak, baru juga balik dari mini market ini," balasnya sambil menunjukkan tentengan plastik berlogo mini market paling terkenal seIndonesia raya.

"Oke deh, aku tanya Mang kumis aja," dengan berat hati aku menuruni anak tangga. Menuju ruangan untuk menerima tamu di lantai dasar, biasanya mang Kumis- penjaga kos- disana, menonton TV dengan istrinya, namun sialnya kali ini tidak ada.

Kali ini aku harus mengeluarkan tenaga lagi untuk berjalan ke arah teras, siapa tahu beliau di sana. Faktanya tidak ada juga.

Aku duduk di lantai yang kuanggap bersih. Siapa tahu bapak kos akan muncul dengan membawa keajaiban.

"Elo emang punya hobi melantai, ya?" kalimat itu lebih terdengar seperti ledekan dari pada pertanyaan.

"Loh, Neng Dika ngapain?" ini suara mang Kumis.

Mana yang harus kutanggapi duluan?

Aku berdiri sambil menepuk-nepuk celanaku yang sepertinya kotor.

"Suka-suka gue lah," balasku nyolot pada Nugra tanpa memandangnya, lebih baik melihat penjaga kosku tersayang.

"Air mati ya, mang?"

"Iya, pipa yang di atas ada yang pecah. Ini juga baru dari belakang, ngecek tangki air,"

"Lama atau enggak, mang?"

GenapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang