Polusi udara menjadi headline paling popular pekan ini, kadar kegawatannya sudah mencapai tahap tidak sehat. Kendaraan bermotor menjadi penyumbang presentasi terbanyak untuk bencana ini, diikuti oleh asap pabrik, pembakaran sampah dan sebagainya. Hal ini menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota dengan tingkat kualitas udara terburuk di dunia. Di D-U-N-I-A, dunia teman-teman. How proud of Djakardah?
Puncak gedung-gedung pencakar langit semakin sulit dijangkau oleh penglihatan. Birunya langit juga sulit didapatkan. Seluruh kota diselimuti kabut, kabut polusi. Dan parahnya lagi tidak ada hujan yang mengguyur dalam sepekan ini.
Pukul 17:20 aku mengemasi barang-barangku yang berserakan di meja bar sebuah coffe shop di dekat kampusku. Lelah sekali rasanya. Tiga hari belakangan ini aku memang sering menghabiskan waktu di sini; memesan Americano, melanjutkan revisian, mengecek email pekerjaan, mengedit naskah, bertemu penulis, dan berbincang dengan barista yang sibuk menyeduh kopi.
"Balik Ka?" Tanya Rio, seorang barista yang aku yakin mengalir darah orang barat dalam tubuhnya.
"iya, udah sore juga, takut kemaleman," aku mencangklongkan ranselku.
"Naik busway lagi?" ia belum selesai bicara, "makanya punya pacar, biar ada yang antar jemput," ledeknya kali ini.
"kasian amat cowok gue kalau cuma dijadiin tukang ojek," kelakarku.
"udah ah, gue balik, ya, bye," aku bergegas pergi lalu melambaikan tangan padanya sebelum pintu coffe shop benar-benar tertutup lagi.
Ini yang aku suka dari bar di kedai kopi; menawarkan hangat dan keakraban.
Langit terlihat mendung, aku harap hujan akan segera turun mengingat tak ada derai yang jatuh dalam sepekan ini. Benar saja, hujan datang kala aku tiba di halte pemberhentianku. Tidak deras tapi cukup membuat bajuku basah bila menerjangnya. Estimasi menunggu 15 menit, jika lebih dari itu hujan tak juga reda, maka aku tetap harus berjalan di bawah guyurannya.
Selepas solat aku langsung mandi, beruntungnya tadi hujan sempat reda menyisakan gerimis memberikanku kesempatan untuk berlari ke kosan, setelahnya hujan semakin lebat.
Aku hampir limbung saat keluar dari kamar mandi, sepertinya akibat dari ketidakteraturanku minggu ini. Aku terjangkit batuk dua hari belakangan, kata temanku akibat terlalu banyak menghirup polutan. Makan sehari sekali karena benar-benar lupa, aku memang setidak peduli itu pada urusan perut. Lalu tiga cangkir kopi perhari; pagi, siang atau sore, dan malam hari. Sehat sekali hidupku ini. Ckckck.
Kurebahkan tubuh lunglai ini diatas kasur yang dilapisi seprai bermotif mawar merah dengan warna dasar hitam. Kupijit pangkal pelipisku berharap pusing di kepalaku segera enyah.
Handphone di dekat kepalaku bordering nyaring, Kanjeng Ratu is calling.
"Assalamualaikum, Ma,"
"Waalaikummussalam, lagi di mana nak? Di kosan? Udah makan? Makan sama apa? Kapan pulang ke rumah lagi? Halo, halo?
"iya ma, iya. Pelan-pelan dong, mama kayak yang buru-buru aja," aku terkekeh, kalau keadaannya seperti ini aku jadi ingin memeluk mama, mengajaknya berbaring di kamarku lalu berkelus kesah sepanjang waktu.
"eh, kamu sakit? Flu? Suaranya kok sengau gitu. Atau habis nangis? Kenapa?"
Pasti akan lebih panjang lagi jika tidak segera kupotong," enggak Ma, enggak papa. Cuma batuk ringan aja kok. Polusi di sini parah banget Ma. Kemana-mana harus pake masker, udah kayak orang sakit deh," hujan di luar sana semakin deras, diiringi dengan angin yang cukup kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genap
ChickLituntuk dapat menggenapkan yang genap, kau harus menjadi genap terlebih dahulu. Sebab, setelahnya akan lebih mudah, kalian hanya perlu saling mengeluarkan ganjil sehingga tetap genap.