BAB 15

15 1 0
                                    



Pagi-pagi sekali Febi mengetuk pintu kamarku, padahal biasanya ia sudah pergi jogging bersama kekasihnya.

"Ka, ini gue dititipin sama mamas lo"

"Mamas?" aku membeo

"iya, yang pernah kesini juga, yang malem-malem itu,"

Nugra?

" Padahal udah gue suruh anter sendiri tapi dia cuma senyum sambil geleng-geleng. Aneh," aku menerima paper bag yang diangsurkan oleh Febi "Untung aja cakep kalau enggak udah gue tinggal pergi tu orang,"

"dia... dia temen abang gue. Kami enggak ada hubungan apa-apa," entah mengapa aku merasa perlu memberitahu ini pada Febi.

Febi tertawa meremehkan, "semua anak kos juga tau kali, Ka, kalo cara dia liat elo itu beda. Bukan sebagai adik temannya."

Aku memaksakan senyum, kufikir Febi akan segera pergi setelah aku memberitahunya siapa Nugra. Bukan malah melontarkan kalimat yang jelas-jelas menyudutkanku.

"ini, makasih ya," aku mengangkat paper bag yang tadi diberikannya, sekaligus mencoba mengakhiri percakapan kami pagi itu. Takut Febi akan bertanya lebih banyak untuk bahan gosipnya.

"Bilang makasih sama yang ngasih, gue cuma kurir," Febi melihat jam tangannya, "mampus gue, telat," ia meringis kearahku, "gue berangkat ya," aku mengangguk.

"sekali lagi thanks, ya, Feb," ujarku mengiringi kepergiannya.

Febi menghentikan langkahnya, menghadap penuh kearahku, "udah gue bilang, say thanks-nya ke doi bukan gue, telpon atau Whatsapp gih," kemudian ia berlalu menuruni tangga.

Aku mengeluarkan kotak bekal dan sebuah susu kotak dari paper bag, membaca post it yang menempel pada tutup kotak bekalnya,

"Selamat pagi, Di. Gue telat bangun pagi ini, jadi cuma bisa buat sandwich doang, semoga suka, ya. Susunya juga jangan lupa diminum, jangan ngopi terus.

-anak kos depan"

Aku tersenyum, kenapa Nugra harus repot-repot sih. Kuambil handphoneku yang sedang dicharger, memoto pemberiannya lalu mengirimnya pada Nugra; tidak melalui Whatsapp tapi MMS. Ehe.

To +628***********

Send a picture

Makasih buat sarapannya

lain kali enggak perlu repot-repot

Aku telah menghabiskan sarapanku, namun balasan dari Nugra tak kunjung datang, mungkin dia sibuk.

Hampir sepekan Nugra menghilang, selepas menitipkan paper bag berisi kotak bekal, aku sama sekali tak melihat kehadirannya walau hanya sekelebat mobilnya yang masuk ke kosan depan.

Mungkin aku tidak akan memikirkannya andai saja tempo hari kami tak saling berbalas pesan via Instagram. Pesan terakhirnya mengenai pengguna sepeda yang tak terhambat lampu merah tak pernah kubalas, terlalu bingung untuk mengirimkan tanggapan saat itu. Mungkin lain kali bila aku punya kata yang pas untuk membalas kata-katanya, akan aku angkat lagi pembahasan sepeda itu diantara kami.

Aku mulai merasakan ketakutan, bagaimana bila kata-kataku waktu itu ada yang menyakitinya? Aku benci bila harus menjadi sebab luka hati seseorang. Atau sebab renggangnya sebuah pertemanan. Eh... aku dan Nugra tidak pernah benar-benar berteman, kan.

Pagi tadi aku menghadiri rapat bulanan divisi fiksi, tak ada yang begitu istimewa selain kabar projek menerjemahkan novel import.sedangkan Siang ini aku berjanji pada Ratih untuk menemuinya di kampus, ia sidang skripsi hari ini. Teringat bagaimana ia mengancamku bila tak menyempatkan waktu untuk datang, "Dika, awas lo gak datang, gue doa-in lo nikah sama om-om", aku bergidik ngeri membayangkannya. Aku tidak suka hubungan gap age. Setidaknya, tidak boleh lebih tua dari Kang Abay.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GenapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang