_________________________
Persimpangan jalan Bina memiliki beberapa arah untuk di tuju. Apabila jalan yang dipilih tersebut salah, maka dapat dipastikan dia akan tersesat tanpa tau kemana jalan untuk kembali.
Seperti halnya saat dia mendapat ajakan seorang teman sekelas yang memiliki latar belakang keluarga yang hampir serupa dengannya. Andai dia tidak cepat mendapatkan pencerahan, tidak menutup kemungkinan jika dia akan ikut serta dalam ranah temannya yang kini berakhir dikeluarkan dari sekolah.
"Tuh 'kan Bin. Gue bilang juga apa! Itu si Jesie emang nggak bener. Lo sih batu banget dibilangin." Kesal Esi dengan gaya berkacak pinggang sambil menyaksikan keramaian akibat dikeluarkannya dua siswi yang terbukti menjual dan menggunakan obat-obatan terlarang.
Bina hanya bisa terdiam dengan pandangan yang tidak lepas dari dua gadis yang sedang terisak mendengar petuah dari kepala sekolah sebelum akhirnya pulang bersama wali mereka.
Di dalam hatinya dia berkali-kali berucap syukur karena masih bisa memilih jalan yang tepat bagi masa depannya. Dia tidak bisa membayangkan jika ikut terseret dalam arus kelam tersebut, karena pasti ada banyak hati yang kecewa sebab ulahnya, terlepas dari kehidupannya yang hanya hidup sediri tanpa dampingan orang tua.
"Lain kali kalo ada yang ajak ke hal jelek begitu kamu harus ingat ya, Bin. Ada banyak peralihan rasa sedih yang bagus ketimbang merusak diri. Apalagi kamu nggak sendiri, ada kami yang siap ngurangin rasa sedih itu." Ujar Jea sambil merangkul bahu Bina.
"Iya, Bibin. Jangan masuk geng lain, ya. Di sini aja bareng kita, anak-anak baik dan shaleha." Timpal Yaya dengan gaya menggemaskannya.
Rasanya dada Bina seperti terhantam batu. Andai ketiga sahabatnya tidak memergoki dirinya yang saat itu sedang berbincang dengan Jesie, mungkin saat ini dia akan bergabung dengan kedua orang di sana. Meski tidak pernah terpikir olehnya untuk memakai barang haram tersebut, namun bujuk rayu dengan dalih kesamaan cerita hidup cukup membuat dia sempat goyah dengan hatinya.
Jea menghela napas saat melihat Bina seperti raga tanpa jiwa. Sahabatnya itu hanya berdiri dengan pandangan kosong dan tubuh membeku sejak saat keributan terjadi. Dia mengerti betapa terkejutnya Bina mendengar kejadian ini, karena jika mereka tidak melarang Bina berteman dengan para pembuat onar itu maka sahabatnya itu juga akan menjadi salah satu dari mereka.
Dia menepuk bahu Bina beberapa kali untuk menguatkan sahabatnya tersebut. Sementara Esi dan Yaya menatap Bina dengan tangan kanan menggepal ke atas seolah memberi semangat.
"Andai bukan kalian yang menjadi sahabatku, apa mungkin aku masih se aman ini?" Batin Bina sembari tersenyum haru.
***
Bina melangkahkan kakinya menyusuri lorong apartemen sambil menggumamkan shalawat yang baru saja didengarnya saat di sekolah tadi. Bibirnya tidak bisa berhenti bersenandung dengan shalawat tersebut. Entah itu karena suara lembut dari yang membawakan atau kah isi dari shalawatnya.
"Rasanya kenapa damai sekali." Gumamnya lalu menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur.
Dia mengambil ponsel di dalam tas nya lalu memutar kembali lantunan shalawat tersebut.
Didengarnya dengan seksama meski dia tidak tau arti dari kata per kata yang ada dalam shalawat itu. Semakin lama hatinya semakin tentram, lalu kilasan tentang keluarganya perlahan mulai kembali menguasai memorinya.
Hari dimana orang tuanya berpisah, ayahnya menikah kembali, wisuda SMP nya dan pernikahan ibunya lagi.
Setetes air mata itu jatuh kembali.
"Aku ikhlas. Aku ikhlas, sungguh sudah sangat ikhlas. Ini takdirku, garis takdirku yang sudah menjadi sebuah ketentuan." Gumam Bina mengingatkan dirinya sendiri.
Di hapusnya tetesan air mata itu lalu dia beranjak membersihkan diri dan bersiap untuk melakukan ibadah shalat ashar nya.
Malamnya Bina memasak makanan sederhana sebagai makan malamnya. Cukup hanya dengan tumis brokoli dan udang goreng tepung saja sudah mampu mengenyangkan perutnya.
Setelah itu Bina beranjak menekuri tugas sekolah. Meski besok adalah hari minggu namun tugas tetaplah harus dikerjakan sesegera mungkin agar ketajaman ingatannya tentang pelajaran tadi tidak menumpul seiring berjalannya waktu hingga penggumpulan tugas pada hari kamis nanti.
Rasa kantuk mulai mengerogoti Bina tepat setelah lima soal matematikanya usai. Perlahan dia merangkak naik ke atas ranjangnya lalu mengisirahatkan matanya yang sudah tidak mampu lagi untuk terjaga.
"Orang tua itu egois. Semaunya sendiri tanpa mikirin kita. Jadi buat apa kita mikirin mereka, toh ini hidup kita. Gabung ajalah Bin, kapan lagi bisa nikmatin hidup begini."
Bina mulai tergiur dengan ajakan Jesie. Dia memang harus menikmati hidupnya seperti apapun itu tanpa harus sibuk memikirkan orang tua yang tidak memikirkannya.
Dia tersenyum lalu mengangguk. Perlahan dia mulai mengikuti ke arah Jesie akan membawanya pergi.
"Lo tu bego atau apa sih Bin!? Berapa kali gue bilang balik ke sini! Lo nggak liat itu di depan lo jurang curam banget."
Bina menoleh ke belakang dan melihat Esi sedang memarahinya sementara Jea dan Yaya hanya menangis terduduk di samping Esi.
"Alah, ayo! Ngapain ngurusin mereka. Mereka nggak tau gimana rasanya jadi kita." Bina dengan kegamangannya kembali mengikuti Jesie.
"Bina, Mama bawain oleh-oleh dari tempat Daddy. Kemari Sayang..."
Bina kembali menoleh dan melihat ibunya yang sedang tersenyum cerah.
"Anak Mama kenapa masih di situ? Kemari, Nak. Itu jurang... nanti kamu terjatuh."
Bina berjalan menuju ibunya.
"Lo nggak boleh balik. Ingat! Dia itu nggak peduli sama lo. Itu semua bohong, ikut gue aja."
"Jangan Bina. Ke sini sama Mama sayang. Jangan dekat situ nanti jatuh."
"Bin, balik."
Bina menoleh ke arah teman-temannya yang mulai menangis. Dia juga melihat ibunya menangis.
Bina merasa lemas. Dia tidak tau harus memilih siapa. Haruskah dia mengikuti bayangan itu? Atau kembali kepada teman dan ibunya.
Bina gamang, perlahan dia mulai memundurkan langkahnya hingga tidak terasa dia akan jatuh ke dalam jurang. Namun tubuhnya tertahan, ada tangan yang membantunya agar tidak terjatuh. Dia melihat pemilik tangan itu, ternyata ketiga sahabatnya lah yang menolongnya.
Bina tersentak dari tidurnya. Mimpi itu seolah merekam kembali apa yang baru saja terjadi pada dirinya.
"Hampir saja." Lirih Bina dengan detak jantung yang berkejaran.
Dia bangun dari tidurnya lalu memutuskan untuk melakukan shalat tahajud.
***
Bina berbaring di atas sajadahnya dengan pandangan menerawang. Tiba-tiba saja dia ingin memakai jilbab seperti beberapa teman sekolahnya. Entah dari mana datangnya keinginan itu, yang pasti setelah menunaikan ibadah di sepertiga malamnya dia ingin sekali merubah dirinya untuk menjadi lebih baik.
Perlahan dia bangun dari atas sajadah lalu menuju ke arah lemarinya.
Dia membuka pintu lemari kecil yang berada di bagian ujung lemarinya lalu mengambil jilbab yang tahun lalu dia beli.
Dia memandangi jilbab itu dengan seksama, lalu sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
🌳🌳🌳
Segitu dulu ya 🙂
Sampai jumpa di bab 4
KAMU SEDANG MEMBACA
BINA
Romance(END) "Aku menggadaikan semua bahagiaku dengan taruhan derita seumur hidup. Apa itu belum cukup hingga kalian ingin menambah derita itu dengan kembali mengulang kesalahan kalian dulu?" Di saat aku hanya diam tak bersuara, mereka mengira aku bahagia...