Bina - 11

37.6K 3.1K 89
                                    

Bina menatap takjub melihat cara Abizar membuatkan kopi untuk mereka berdua. Cara yang dilakukan oleh atasannya itu terlihat sangat lihai seolah meracik kopi sudah menjadi kesehariannya.

"Jangan tatap aku begitu, Bin. Tanganku bisa tersiram kopi panas saking gugupnya." Gurau Abizar saat melihat Bina memandangnya dengan santai seperti itu.

Bina terkekeh kecil lalu menegapkan duduknya di kursi pantri. Dia hanya takjub saat melihat ada laki-laki yang begitu lihai membuat kopi. Maklum saja, selama ini dia tidak memiliki banyak laki-laki untuk bisa bersamanya, pacaran saja tidak. Kecuali seorang laki-laki penuh drama yang beberapa tahun ini terus mengusik hidupnya hingga pada akhirnya dia melebeli laki-laki itu dengan titel 'sahabat'. Siapa lagi kalau bukan Raditya Angkasa, anaknya bapak Angkasa yang sungguh membuat hari Bina jauh dari kata sunyi.

"Sudah selesai. Silahkan dinikmati."

Bina meraih satu cangkir kopi yang diberikan oleh Abizar lalu menyesapnya. Kali ini dia benar-benar terpukau dengan keahlian Abizar yang tidak pernah dia tau.

"Abang pintar meracik kopinya." Puji Bina dari hatinya yang paling dalam.

Abizar terlihat menahan lekuk bibirnya agar tidak tersenyum terlalu lebar. Meski dia ingin bersorak girang karena mendapat respon bagus dari Bina, namun dia mencoba menahannya dan sebisa mungkin tetap terlihat tenang di depan sang pencuri hati.

"Terima kasih untuk pujiannya. Aku nggak semahir itu, ini kan cuma kopi instan."

Bina tersenyum lalu mengangguk.

"Walaupun gitu, rasanya tetap pas. Manisnya juga, cocok banget di lidah aku."

Abizar semakin melayang dibuatnya. Padahal Bina hanya menemuinya secara wajar, namun dia sudah merasa berada di atas angin.

Demi menutupi kegirangannya, Abizar mengganti topik pembicaraan mereka.

"Setidaknya kopi ini bisa meringankan beban pikiran kamu yang sangat kelihatan itu."

Bina berhenti menyesap kopinya. Pernyataan Abizar itu membuat pikiran Bina melayang pada saat dia di rumah sakit. Rencana orang tuanya, keegoisan mereka yang tidak berkurang dan ketidaksopanan dirinya yang bersuara tinggi kepada orang tua.

Huh!

Bina menghela napas gusar. Dia memang kecewa dengan orang tuanya, namun dia tidak pernah berniat untuk bersikap kasar kepada keduanya.

"Astagfirullahalazim." Istigfarnya.

"Kenapa?"

Bina menoleh ke arah Abizar yang terlihat bingung dengan dirinya yang tiba-tiba saja beristigfar. Dia menggelengkan kepalanya lalu kembali menyesap kopi di tangannya.

"Cerita aja, meskipun nggak secara terang-terangan. Yang penting kamu sedikit lega." Tawar Abizar.

Bina memang butuh teman bicara, namun sepertinya dia belum cukup dekat dengan Abizar untuk menceritakan hal pribadinya.

"Kalau nggak mau, nggak apa-apa juga kok." Ucap Abizar saat melihat Bina masih enggan bersuara.

Namun setelahnya Bina malah melemparkan pertanyaan kepada Abizar.

"Kalau wanita nggak nikah, pandangan orang lain gimana?"

Uhuk!

Abizar terbatuk mendengar pertanyaan Bina.

"Kamu nggak ada rencana mau nikah?" Tanyanya dengan hati yang berdebar.

Abizar baru saja ingin berusaha mendapatkan perhatian dari Bina agar bisa membuat gadis itu menjadi miliknya. Namun yang dia dengar saat ini malah Bina yang berencana untuk tidak menikah.

BINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang