Suatu saat

22 0 0
                                    

"Nak, bagaimana kalau suatu saat bapak pergi ? "

"Pergi kemana toh pak ? Tapi perginya ga lama kan ?" jawab Suparmin

"Bukan nak, entahlah. Pergi begitu saja. Tanpa kabar dan tanpa suara. Kamu siap ndak jaga ibumu ? " balas Pak Martono kepada putra semata wayangnya tersebut.

"Ih pak, jangan ngomong yang enda-enda. Toleh ndak suka pak kalau bapak pergi. Kalau bapak pergi, yang ceritain toleh cerita lucu siapa dong ? Kalau lawakan ibu, toleh ndak merasa terlalu lucu. Beda aja sama bapak." Imbuh sang anak, Suparmin

"Hahahaha. Iya nduk. Rasanya bapak juga ndak mau dan ndak siap juga buat ninggalin kamu dan ibumu.Yowes, itu pasar sudah kelihatan. " jawab Pak Martono

Mendengar yang baru saja dikatakan oleh ayahnya, ia segera memalingkan wajahnya yang tadinya menatap sang ayah menjadi menatap pasar. Ramai sekali. Banyak orang hilir mudik membawa bakul. Ada juga yang membawa gerobak besar yang penuh dengan buah-buahan seperti pisang dan papaya. Semua tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Suparmin sangat senang melihat itu. Ia seperti baru pertama kali kepasar dan melihat aktivitas semua ini. Ia sangat bersemangat. Tetapi sedetik kemudian ia menangkap pemandangan aneh. Ia melihat seseorang berbaju batik hijau tua sedang menatapnya. Gerak geriknya sangat aneh untuk ukuran orang yang akan berbelanja. Ia menggunakan topi hitam dan juga kacamata hitam serta sebuah rokok menempel pada bibirnya yang sedikit hitam. Ia pasti sudah sangat lama merokok sehingga bibirnya berubah warna menjadi hitam, begitu pikir Suparmin. Kemudian ia menyadari, bahwa orang tersebut tidak bergerak. Ia hanya berdiri disana. Di ujung pasar sambil melihat kearahnya. Suparmin menoleh kekanan dan kekiri, serta arah belakang. Hanya ia dan bapaknya saja yang berdiri disini. Tidak ada orang lain. Dia cukup menyadari bahwa saat ini ada orang aneh yang memperhatikannya, atau mungkin ayahnya. Tapi yang jelas, orang tersebut kembali berjalan dan masuk diantara kerumanan orang-orang. Ia hilang begitu saja. Sementara itu, Pak Martono menarik tangan anaknya tersebut dan mengajak anaknya berkeliling dan mencari ayam potong untuk dibawa pulang nanti. Setelah sekian lama mencari harga yang pas dikantong Pak Martono akhirnya ia berhasil membawa pulang ayam setengah kilo. Melihat ayam yang berada didalam kantong plastic hitam tersebut membuat Suparmin sangat senang sekali. Ia membayangkan opor ayam yang akan ia lahap malam ini bersama keluraganya. Setelah membeli ayam tersebut, Pak Martono kemudian membeli satu kilogram beras. Mengingat stok beras yang ada dirumahnya kini telah habis. Setelah dirasa cukup, Pak Martono berniat membelikan gula-gula untuk anaknya melihat anaknya yang dari tadi memperhatikan penjual gula-gula. Ia merasa prihatin. Kemudian ia menepuk pundak sang anak dan berkata,

"Kamu mau gula-gula itu ? "

"em... endak usah pak. Lebih baik uangnya dipakai untuk kebutuhan yang lain saja." Balas tulus Suparmin kepada sang ayah. Ayahnya yang mendengar hal tersebut semakin merasa bahwa ia dan istrinya berhasil mendidik anak. Bagaimana tidak, saat anak sepuluh tahun lainnya sibuk minta dibelikan mainan dan sepatu baru, anaknya tidak pernah meminta apapun darinya. Anaknya selalu merasa cukup dengan kondisinya saat ini. Ia selalu tidak ingin melihat orang tuanya repot hanya karena keinginannya. Ia sangat tulus kepada bapak dan ibunya. Karena hal itulah, Pak Martono kemudian mengenggam tangan anaknya dan berjalan menuju pedagang gula-gula tersebut. Ia beli satu buah gula-gula. Dan ketika Suparmin melihat gula-gula yang kini ada ditanganya, tak terasa ia menitikkan sebuah air mata. Ia sangat senang sekali bisa merasakan gula-gula yang dulunya hanya ia lihat dimakan oleh teman-teman sebayanya. Ia sudah terbiasa makan tebu sebagai camilan manisnya, namun kini ia sungguh memegang camilan sungguhan. Gula-gula sungguhan. Melihat anaknya tersebut, Pak Martono mengelap air matanya dan mengajak anaknya pulang. Namun sebenarnya, tanpa sadar adegan yang ditampilkan oleh ayah dan anak tersebut sudah disanksikan dari tadi oleh seseorang yang menutupi kepalanya dengan topi hitam dan kacamata hitam. Ia seakan menikmati pertujukan yang ditampilkan oleh anak dan bapak itu. Ia menghembuskan asap rokoknya. Dalam sekali. Kemudian ia menhampiri dan menepuk pundak bapak dari anak tersebut. Pak Martono melihat dan kemudian terdiam sejenak. Suparmin yang saat itu asik dengan gula-gulanya hanya focus saja dan tidak memperhatikan kondisi sekitarnya. Termasuk orang itu. Ia hanya melihat sekilas dan berpraduga bahwa orang yang melihatnya dikejauhan tadi rupanya adalah seorang teman ayahnya. Ia tidak memusingkan itu. Namun saat orang itu memulai perbincangan dengan ayahnya, ia mendengar bahwa ayahnya berujar " mau apa lagi kamu, Don. Tak cukup membuat kau buat aku begini ? ". Namun ia pikir, itu hanya percakapan biasa. Setelah sekitar dua hingga tiga menit berbincang, ayahnya kemudian mengajaknya pulang kerumah. Ekspresi ayahnya tidak seperti tadi. Sekilas ia melihat kebelakang dan melihat orang yang tadi berbincang dengan ayahnya, tersenyum kepada sambil menhembuskan asap rokoknya. Ia tidak membalas senyuman itu. Ia merasa senyum itu bukan senyum ramah, namun senyum yang penuh ancaman. 

Keadilan Terakhir untuk JendralWhere stories live. Discover now