Girang

25 0 0
                                    

Kata-kata sang Ibunda hanya dibalas anggukan oleh sang anak. Segera ia bangkit dari karpet rotan dan mencuci wajahnya di samping rumah. Setelah selesai ia segera menghampiri bapak dan ibunya yang sedari tadi menunggunya di teras depan rumahnya. Ia berjalan dan segera menghampiri orang tuanya. Ia duduk diantara mereka. Ketika ia datang, orang tuanya yang sedari tadi terlihat mengobrol ringan segera menghentikan obrolannya dan mengajak anak semata wayang mereka untuk segera memakan ubi yang telah digoreng oleh sang ibu. Mereka makan dengan khidmat. Tak lupa diawal sebelum makan, mereka berdoa kepada tuhan atas nikmat yang telah tuhan berikan kepada mereka pagi ini berupa rejeki dan nikmat kebersamaan. Tak terasa, ubi dan minuman yang berada didalam gelas mereka perlahan habis. Hingga akhirnya ludes tak bersisa. Melihat anaknya sudah selesai melahap sisa ubi terakhirnya, pak Martono kemudian berbicara kepada sang buah hati,

"Leh, nanti bapak mau kepasar. Mau beli ayam. Koe mau ngikut ndak ? Kalau mau ikut pergi mandi di sumur samping rumah le. Siap siap. Bapak nunggu kamu. Hari ini kita pergi saja berkebun mumpung hari minggu juga. Bapak pengen sesekali ngajak kamu jalan, biarpun ke Pasar. Gimana le ?' ujar pak Martono

Mendengar ucapan sang ayah, Suparmin tampak girang sekali. Ia berbinar, Nampak bahwa dia sangat setuju dan senang dengan tawaran sang ayah. Ia takan melewatkan kesempatan emas ini. Jarang sekali bapaknya mengajaknya berjalan-jalan. Apalagi ayahnya mengatakan bahwa ia akan membeli ayam. Berarti ia akan makan enak malam ini. Membayangkan hal itu, ia segera nafsu sekali. Ia sangat bersemangat bagaikan seorang anak yang melihat mainan yang langkah dan unik. Segera ia mengiyakan ajakan ayahnya

"Iya pak. Toleh mau sekali. Akhirnya toleh bisa jalan juga sama bapak. " Ucap Suparmin kecil

Seusai ia berkata demikian, Suparmin segera berlari masuk kedalam rumah mengambil handuk dan alat mandi lainya dan segera menuju sumur yang terletak disamping rumahnya. Ia segera mandi secepat dan sebersih yang ia bisa. Ia tidak ingin ayahnya menunggu terlalu lama. Ia segera bergegas memakai handuknya ketika guyuran air terakhir mengenai sekujur tubuhnya. Ia lalu keluar dari halaman sumur dan segera memakai baju terbaiknya. Baju berwarna biru tua yang panjangnya tepat berada dibawah pusatnya. Baju yang hanya ia gunakan ketika lebaran tiba. Meskipun sudah sedikit kecil, ia tetap terlihat sangat gagah memakai baju tersebut. Kemudian ia memakai sandal dan segera menemui ayahnya yang sedari tadi sudah menunggunya. Ayahnya kali ini tidak menggunakan topi rotan dan membawa cangkul dan celurit sebagaimana mestinya. Ayahnya juga sudah berganti baju menggenakan baju batik buram dan celana panjang hitam. Ia terlihat sangat berkharisma. Ayahnya yang menyadari kehadiran putranya itu segera tersenyum dan berkata,

"Bagaimana leh, sudah siap ?"

"iya pak, sudah. Ayo pak."

Mereka kemudian berpamitan kepada Mbok Darmi. Mbok Darmi tersenyum dan melambaikan tangan seraya mengucapkan kata-kata yang sudah sangat lumrah diucapkan oleh seorang ibu ketika keluarganya berpergian. Hati-hati di jalan. Setelah Mbok Darmi mengucapkan kalimat tersebut, sosok anak dan suaminya semakin menghilang ditelan oleh rimbunya kebun jagung mereka. Mbok Darmi masuk kerumah dan memulai aktivitasnya yang lain, yaitu menjahit.

Sementara itu, Pak Martono dan Suparmin saat ini sedang berjalan melintasi jembatan yang dibawahnya mengalir sungai yang tidak terlalu deras arusnya.Ia berbincang-bincang kepada sang ayahanda. Apa saja mereka bicarakan selama diperjalanan mulai dari bebek-bebek Pak Jamal yang sering sekali nyasar kebelakang rumah mereka. Ya, mereka tau itu bebek-bebek Pak Jamal karena hanya lelaki 50 tahun itu yang berternak bebek di desa itu. Beralih dari pembicaraan bebek-bebek Pak Jamal, kemudian Pak Martono berbicara kepada anaknya dengan tampang yang serius. 

Keadilan Terakhir untuk JendralWhere stories live. Discover now