Menunggu

20 0 0
                                    

Setelah selesai beribadah, Pak Martono dan Suparmin hendak pulang kerumah. Ketika akan beranjak dari teras masjid, datang seseorang yang menghampiri Pak Martono. Pak Martono tersenyum melihat orang itu. Mungkin usianya sekitar 45an, hampir seusia dengan Pak Martono. Akan tetapi, penampilan orang itu jauh berbeda dengan Pak Martono. Ia tampak lebih tinggi dari Pak Martono dan juga kumis dan janggutnya sudah berwarna putih. Ia tampak sangat berkharisma.

"Yan, kebetulan sekali aku bisa ketemu sama sampeyan. Aku ingin bicara tentang masalah si Dony, Yan." Ujar Pak Martono memulai pembicaraan.

"Oh masalah itu. Aku juga mau kerumah sampeyan sehabis magrib ini tapi tuhan berencana mempertemukan kita disini. Kemarin aku bertemu Dony di pasar. Ia mengacam kalau aku membocorkan apa yang terjadi malam itu beserta apa yang aku dengar, aku akan kena imbasnya. " jelas Pak Yani

"Ha ?! Apa yang kamu bicarakan. Aku juga bertemu denganya di pasar. Tepat kemarin pagi. Apakah dia mengikuti dan mengawasi gerak-gerik kita ?" ucap Pak Martono dengan rasa kaget yang luar biasa.

Mendengar pembicaraan yang cukup intens diantara kedua orang tua tersebut, Suparmin Nampak bingung. Pak Martono sadar akan anaknya, ia segera menyuruh pulang anaknya sendiri, mengingat jarak dari masjid kerumah tidaklah jauh. Suparmin mengiyakannya dan berjalan pulang. Hanya kebun jagung yang menjadi tantangan Suparmin ketika pulang. Rimbun dan lebatnya kebun jagung menambah nilai mistis dan juga menyeramkan dari tempat tersebut. Akan tetapi, Suparmin tidak memperdulikan hal itu karena yang akan dia dapati ketika selesai melewati tempat gelap tersebut adalah istana kecil dan hangatnya. Yang didalamnya ada ibu yang sedang menunggu kehadiran suami dan anaknya.

Ketika telah berhasil melewati kebun jagung yang cukup luas tersebut, akhirnya Suparmin berhasil sampai di rumah dengan selamat. Ia disambut ibunya dengan hidangan opor sisa siang tadi yang telah dipanasi. Tidak ada yang salah dengan makanan yang dipanasi, ia menyukainya apalagi ayam merupakan makanan mewah bagi keluarganya. Ia menghampiri ibunya yang sudah tampak hendak bertanya kepada Suparmin, namun seakan Suparmin sudah tahu pertanyaan ibunya, ia langsung berujar,

"Bapak ketemu Pak Yani bu dimesjid. Beliau berbicara Dony atau siapalah itu. Suparmin disuruh pulang deluan, katanya ada yang ingin beliau bicarakan." Jelas Suparmin kepada ibunya

Jantung Mbok Darmi serasa berhenti. Ia sangat mengkhawatirkan keadan suaminya saat ini. Ia ingin menyusul suaminya saat ini juga, akan tetapi tidak mungkin ia meninggalkan anaknya sendirian dirumah ini. Bahaya bisa saja terjadi kapan saja. Ia ingin mengajak Suparmin akan tetapi takut bila Dony akan membahayakan ia dan suaminya, termasuk buah hatinya. Ia sangat bimbang. Ia memutuskan untuk menunggu suaminya pulang. Ia tidak ingin mengambil resiko yang membahayakan anaknya. Ia dalam hati berdoa kepada tuhan, semoga suaminya kembali dalam keadan hidup dan baik-baik saja. Sementara itu, Suparmin yang melihat ekspresi ibunya terlihat khawatir mencoba menanyakannya dan hanya dibalas senyuman dan jawaban,"endak leh, ibu ndakpapa.". Mendengar jawaban ibunya, ia mencoba mengalihkan suasana dengan cara menanyakan kapan makan malam ini akan dimulai sebab perutnya sedari tadi minta diisi. Mbok Darmi yang mendengar hal itu segera menyuruh agar Suparmin segera makan deluan tanpa menunggu ayahnya. Mendengar hal itu, Suparmin bersikukuh tidak mau menyentuh makanannya hingga ayahnya hadir dan makan bersama denganya dan ibunya. Mbok Darmi yang melihat anaknya tersebut-pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya mengangguk pasrah dengan keputusan anaknya. Ia dan anaknya pun menunggu sang ayah. Berharap sosok ayah dan sosok suami yang mereka butuhkan akan hadir sebentar lagi. Mereka terus menunggu. Menunggu dalam ketidakpastian hingga jam menujukkan pukul 10 malam. Suparmin sudah sejak tadi tertidur dipangkuan ibunya, Mbok Darmi. Sementara itu, batang hidung sang ayah belum Nampak sama sekali. Mbok Darmi tidak tertidur sedikitpun. Rasa ngantukpun sama sekali tidak hinggap dikelopak matanya. Ia sangat khawatir dengan keadaan suaminya. 

Keadilan Terakhir untuk JendralWhere stories live. Discover now