Tangisan

21 1 0
                                    

"Bapak, bapak hati-hati ya. Toleh bakalan jagain ibu. Toleh sayang sama bapak." Itulah kalimat terakhir yang Pak Martono dengar hingga akhirnya ia tewas dan pergi untuk selama-lamanya.

"Hosh..hosh. Yallah bu, untung cuman mimpi." Seru toleh yang menyebabkan ibunya terbangun.

Mbok Darmi menatap anaknya. Suparmin terlihat penuh peluh. Ia pasti bermimpi buruk. Ia bertanya kepada Suparmin dan Suparmin menjelaskan semuanya. Ia bermimpi bahwa ayahnya meninggalkan dia dan ibunya. Terbang jauh sekali. Ia masih berderai air mata. Mbok Darmi menenangkan Suparmin dan berkata bahwa itu hanya Bunga tidurnya saja. Sementara itu, dalam hati Mbok Darmi sebenarnya ia merasa sangat khawatir. Pasalnya jam saat ini menunjukkan pukul 6 pagi dan belum ada tanda-tanda bahwa suaminya akan pulang. Hingga akhirnya ia mendengar ketukan dipintu dan segera membuka pintu tersebut berharap bahwa yang datang adalah suaminya. Namun ketika membuka pintu, yang ia dapati hanyalah segerombolan warga dengan mayat yang mereka bawa. Mayat itu tertutup wajahnya menggunakan karung goni yang diikat. Sedang baju yang mayat itu gunakan sangat mirip sekali dengan baju kokoh yang suaminya gunakan tadi malam saat hendak menunaikan ibadah magribnya bersama dengan anak semata wayangnya. Ia diam dan membeku. Ia merasakan sesak didada. Ia merasakan jantungnya berhenti berdetak. Mayar itu persis sekali perawakannya dengan suaminya yang semalaman ia tunggu kehadirannya. Sementara itu, dari dalam anaknya berteriak,

"Wes ada oppo toh buk, kok rame-rame diluar ?"

Mbok Darmi hanya diam hingga rasa penasaran menghantui Suparmin. Ia segera berlari keluar dan diam membeku. Ia menangis. Tidak, ia tidak mengeluarkan satupun air mata. Tetapi hatinya menangis. Ia memeluk ibunya yang sudah berlinang air mata namun tanpa suara. Mayat itu dibawa masuk. Ia membuka kain penutup wajah ayahnya dan menyaksikan darah yang mulai membeku disekitar leher sang ayah. Ia marah. Ia sedih. Siapa yang tega melakukan semua ini terhadap ayahnya. Ayahnya bukanlah orang yang jahat. Lambat laun semua proses mulai dari pemandian hingga pengkafanan sudah selesai. Suparmin menyaksikan semua prosesnya. Ia tak sanggup lagi menahan air mata saat ayahnya dimasukkan keliang lahat. Untuk terakhir kalinya, ia melihat sosok ayah yang selalu menjadi pahlawannya. Ia sudah tidak kuasa menahan air mata hingga akhirnya ia merontah dan berteriak,

"Kembalikan bapak. Kembalikan bapak. Bapak masih hidup. Kembalikan bapak." Seru Suparmin kepada semua warga yang membantu proses pemakaman ayahnya. Orang-orang merasa iba dan sangat kasihan dengannya. Warga tahu bahwa Pak Martono orang yang tidak mungkin terlibat dalam organisasi itu. Mereka mengenal Pak Martono dengan baik. Proses pemakaman selesai. Semua warga pulang dan hanya menyisakan Mbok Darmi dan Suparmin dengan mata yang bengkak. Mereka bersimpuh diatas pusara suami sekaligus ayahnya. Mereka sudah kehabisan suara. Tinggallah mereka dengan segala keheningan dan juga kenangan indah yang dirajut bersama. Hari itu, bumi seakan-akan tahu bahwa ada hati anak seorang anak kecil yang hancur. Bumi seakan memberi rasa teduh dan angina sepoi yang menambah kesan syahdu malam itu.

Hujan malam itu sudah reda. Hanya meninggalkan rintik dan embun didaun-duan tumbuhan disekitar rumah Pak Suparmin. Tak terasa, kopinya kini dingin. Air matanya yang sedari turun kini ia tepis dan lap menggunakan sapu tangannya. Kejadian itu sudah lama berlalu, tapi setiap kejadian dan rinciannya masih jelas tertanam diingatan Suparmin. Ia masuk kerumah sederhananya ketika menyadari bahwa istrinya sedari tadi memegang tangan keriputnya dan tersenyum tulus kepadanya. 


                                                                                            -SELESAI-

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 29, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Keadilan Terakhir untuk JendralWhere stories live. Discover now