Sementara itu disisi lain, Pak Martono sedang mengantung baju kokohnya yang berwarna hijau dan mengantinya dengan baju kaos putih polos yang biasa ia gunakan saat hendak berkerja di kebun Jagung miliknya. Ia menyiapkan juga sebuah topi rotan berbentuk limas yang sudah dipilin sedemikian rupa. Ia melangkahkan kakinya menuju bagian belakang rumah dan mengambil sebuah celurit dan satu buah cangkul. Ia membawa dan meletakkan cangkul dan celurit tersebut di bagian depan teras rumahnya. Ia duduk ditemani semilir angin pagi yang menyapu dan menghantam pelan wajah keriputnya. Ia menikmati suasana ini. Ia cukup lama termenung dan melamun. Entah apa yang dilamunkan oleh Pak Martono. Lalu sedetik kemudian, raut wajah Pak Martono berubah. Mimik wajahnya berubah menjadi lebih serius. Terlihat mimik wajah antara sedih dan khawatir. Semua ekspresi itu Nampak di wajah Pak Martono pagi ini. Ada hal penting yang ia pikirkan hingga akhirnya lamunan dan mimik wajah serius yang tampak sedang berpikir keras itu buyar ketika Mbok Darmi datang dan membawa dua gelas kopi dan segelas teh beserta dengan sepiring ubi goreng dan sambal yang masih panas. Uap yang dikeluarkan ubi tersebut menjadi bukti bahwa ubi tersebut baru saja keluar dari pengorengan. Pak Martono yang menyadari kehadiran istrinya itu segera menganti mimik yang tadinya kelihatan serius dan khawatir menjadi mimic menyenangkan yang disertai senyum yang cukup lebar. Karena lebarnya senyum Pak Martono sehingga Nampak seluruh giginya. Entahlah, ia memang benar-benar senang karena kehadiran sang Istri atau hanya sedang berpura-pura menutupi mimik aslinya.
"Ngapain toh pak pagi-pagi kok melamun meneh. Gabaik. Daripada melamun mending kita sama-sama sarapan dulu. Tapi ibu bagunin si toleh dulu supaya bareng kita sarapannya. Wes bentar yo pak." Ucap Mbok Darmi kepada sang suami yang ia lihat tadi melamun.
"Yowes bu." Balas singkat Pak Martono.
Setelah Mbok Darmi mendengar ucapan suaminya, ia segera masuk dan bergegas membangunkan anaknya, Suparmin. Terlihat Suparmin masih tertidur pulas diatas karpet rotan. Ia sedikit meringkung. Mbok Darmi menghampiri anak semata wayangnya tersebut. Ia perhatikan baik-baik wajah anaknya. Ia mengelus pelan kepala sang anak. Sangat pelan sekali. Ia menatap wajah anak sepuluh tahun yang berada didepannya saat ini. Terlihat kurus dan sedikit hitam kulitnya. Ia sebenarnya sangat prihatin dan sedih melihat kondisi anaknya. Ia ingin anaknya bisa terlihat sehat dan gemuk seperti anak juragan Darso. Tapi apalah daya, ia tidak sanggup untuk menjadikan anaknya terlihat gemuk seperti anak Juragan Darso. Untuk makan sehari-hari saja mereka sudah susah. Pernah terbesit dalam pikirannya juga untuk menabung untuk bekal kuliah anaknya nanti. Pasti dia sangat bangga sekali bisa memamerkan anaknya ketika berhasil kuliah. Selain itu juga, ia sedikit berharap agar anak semata wayangnya tersebut bisa merubah nasib keluarganya saat ini dan mengeluarkan ia dan suaminya dari lumpur kemiskinan yang saat ini menimpahnya. Tanpa sadar, ketika ia sedang memikirkan semua kemungkinan tadi, mata anaknya sudah cukup lebae terbuka. Ia rupanya sudah dari tadi terbangun tetapi tetap membiarkan tangan ibunya tetap melengket pada kepalanya.
"Ibu kenapa toh ? Kok melamun bu pagi-pagi." Ucap Suparmin
"eh, anak ibu udah bangun. Enda nduk, ini ibu lagi mau bangunin kamu. Ibu ndak melamun kok.. Yowes kalau gitu toleh bangun dulu. Cuci muka baru kita sarapan sama bapakmu. Bapak udah nunggu diluar itu " Jawab Mbok Darmi kepada anaknya
YOU ARE READING
Keadilan Terakhir untuk Jendral
Narrativa StoricaBapakku dituduh sebagai anggota PKI!!!