Disisi lain, terjadi sebuah percakapan beberapa jam yang lalu didepan teras masjid. Sosok pembicara dan pendengar itu antara lain adalah Pak Martono dan Pak Yani. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu yang nampaknya genting sekali. Beberapa menit sebelumnya, Pak Martono menyuruh pulang putra semata wayangnya sendiri agar anaknya tidak mendengar percakapan yang saat ini sedang ia bahas dengan Pak Yani.
" Aku ingin meminta pendapatmu, Yan. Apakah kamu yakin dengan keputusan kita untuk melaporkan semua yang kita dengar malam itu ? Apakah kamu siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi dengan kita bahkan keluarga kita sendiri ?" ucap Pak Martono dengan serius.
"Begini no, aku sebenarnya siap sekali. Akan tetapi aku takut keselamatan keluargaku dalam bahaya. Kamu tahu sendiri kan, Si Doni itu salah seorang tangan kanan kepala desa. Ia sangat disegani dan dihormati. Kita bahkan tidak menyangka bahwa salah satu penyusun startegi dan semua rencana kejam yang menimpa jenderal-jenderal malang itu beberapa... lalu itu salah satunya Dony dan teman-teman kampong sebelahnya. Ketika malam itu, ketika kita pulang sehabis mencari lele dimalam hari dan tidak sengaja mendengar diskusi mereka, kita langsung sadar kan bahwa mereka bukanlah orang yang baik.Ketika mereka memergoki kita menguping pembicaraan merekapun, mereka tidak membunuh kita melainkan hanya mengancam. Orang yang senang mengancam merupakan orang yang lebih patut kita waspadai. Mereka bukan warga yang teladan. Mereka pengkhianat Negara. Mereka tega bergelak tawa setelah semua rencana mereka untuk mengahabisi para jenderal itu berhasil. Kita harus melaporkan mereka no, harus. Bagaimanapun caranya. Dan lagipula hanya itu yang bisa kita lakukan untuk Negara ini. Untuk menbantu mengungkap semua kebenaran ini." Jelas Pak Yani panjang lebar
Pak Martono terdiam dan memikirkan semuanya dengan teliti. Ya, mereka memang harus melaporkan hal tersebut. Tanpa mereka sadari, keadaan sudah sangat sepi. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Dan tanpa mereka sadari pula bahwa sebenarnya Doni dan teman-temanya telah mendengar semua omongan Pak Yani tadi. Mereka naik pitam. Dengan pelan dan perlahan, Doni dan teman-temannya pergi dari tempat itu. Doni sudah tahu bahwa mereka lambat laun pasti akan membongkar rahasia kejam mereka. Doni ingin menghabisi kedua lelaki tersebut, namun ia bukanlah orang yang senang bermain dilapangan. Ia lebih senang bermain dengan tenang dan dengan taktik liciknya. Ia beberapa hari sebelumnya sudah melaporkan kedua lelaki paruh baya tersebut kepada suatu operasi rahasia milik pemerintah yang bertugas memberantas para Pki yang telah tega menghabisi dengan kejam para Jenderal-jenderal pada malam 30 september itu. Mengapa ia bisa memiliki akses yang begitu kuat ? hal itu dikarenakan salah seorang anggota Algojo pemburu itu merupakan sepupu satu kalinya dari pihak ibunya. Sepupunya itu acap kali membanggakan dirinya saat ia pulang dari bertugas. Ia mengaku bahwa orang yang ia tembak merupakan orang yang memang pantas mati untuk Negara karena dianggap pengkhianat Negara. Dan mengapa Doni bisa tidak diketahui identitasnya sebagai antek-antek PKI yang turut menyusun rencana dan merupakan dalang dalam peristiwa berdarah tersebut ? hal itu dikarenakan pencitraan yang dia buat dan juga sikap diplomatisnya terhadap masyarakat. Ia bagaikan bunglon yang bisa mengadaptasikan dirinya disituasi apapun. Ia merupakan orang licik yang sangat pintar sekali dalam memposisikan dirinya sehingga tidak akan ada yang curiga dan menduga bahwa sebenarnya ialah musuh Negara sesungguhnya. Beberpa hari yang lalu, saat sepupunya itu sedang pulang dari bertugas ia melaporkan bahwa dua orang warga dari desanya merupakan antek-antek dari PKI. Ia memutarbalikkan semua fakta yang ada dan menuduh bahwa Pak Martono dan Pak Yani merupakan orang yang selama ini harusnya dibasmi. Ia juga membawa saksi palsu yang berasal dari teman-teman PKInya dan membuat kesaksian palsu bahwa benar adanya anggota PKI di desa tempat Doni tinggal. Doni menggarang cerita sedemikian rupa hingga ketika orang mendengar hal itu, ia akan mempercayai semua apa yang Doni ucapkan.
Disisi lain, Pak Martono dan Pak Yani yang tidak menyadari adanya kehadiran orang yang menguping percakapan mereka sedari tadi. Setelah sepakat dengan keputusan yaitu mereka akan melaporkan Doni dan teman-temanya ke badan aparatur desa besok pagi juga. Setelah sepakat, mereka segera bersalaman dan berpamitan untuk pulang kerumah mereka masing-masing, akan tetapi mereka tidak pernah tahu bahwa sebenarnya, mereka sedang berjalan menuju maut mereka sendiri. Pak Yani yang pulang harus melewati jembatan tidak menyadari bahwa sebenarnya sudah ada salah seorang anggota algojo pemburu yang sudah bersiap menembaknya dipinggir batu kali sungai yang cukup besar. Ketika ia melangkahkan kakinya menuju rumahnya yang tidak jauh lagi, sebuah letusan tak berbunyi disertai dengan peluru besi menembus dada Pak Yani yang membuatnya tewas seketika. Al-Quran yang ia bawa terhempas dan basah oleh darah yang mengalir deras dari lubang yang tercipta dari peluru yang kini bersarang tepat di dada kiri Pak Yani dan mengenai jantungnya.
Sementara itu, Pak Martono berjalan dengan terburu-buru. Ia ingin segera sampai dirumah dan makan malam bersama dengan anaknya, Suparmin. Ia tahu bahwa Suparmin pasti menunggunya untuk makan malam bersama. Dalam hatinya ia merasa bersalah telah menyuruh Suparmin pulang berjalan sendirian ditengah rimbun dan gelapnya kebun Jagung ini. Pak Martono tidak menyadari bahwa diujung kebun jagung itu, ia sudah dinanti oleh sepupu Dony yang merupakan seorang algojo pembunuh. Ditengah kabut malam itu, sebuah peluru melesat dan mengenai leher Pak Martono yang membuatnya ambruk seketika. Ia memegang lehernya mencoba untuk menahan derasnya darah yang mengalir keluar dari lehernya. Ia merasakan nafasnya seperti terkuras. Pandangannya menjadi kabur dan samar. Yang ia lihat saat ini berubah perlahan menjadi sebuah ruangan putih. Diruangan itu, ia melihat anaknya, Suparmin sedang melambaikan tangan dan tersenyum kepadanya. Pak Martono tahu bahwa ini adalah saat terkahirnya. Ia tersenyum dan menangis. Begitu mahal nilai keadilan dinegeri ini bahkan untuk orang mati sekalipun. Ia mendengar samar suara langkah kaki yang mendekatinya. Ia masih sadar, bahkan ketika ia diseret dan ditutupi wajahnya menggunkan karung goni. Ia disandarkan pada sebuah beberapa batang jagung yang muda hingga mampu menahan berat badannya. Ia menangis dalam diam. Rasa sakitnya sudah menjalar dengan kuat keseluruh tubuhnya. Ia berharap, anak dan isrtinya baik-baik saja. Ia kembali melihat ruangan putih dan mendengar suara anaknya meneriakkan nama pahlawannya,
YOU ARE READING
Keadilan Terakhir untuk Jendral
Fiksi SejarahBapakku dituduh sebagai anggota PKI!!!