Diawasi

21 0 0
                                    

Sesampainya ia di rumah, Mbok Darmi sudah duduk di teras rumah dan menyambut hangat kedatangan mereka.

"Ibukkkk ! Kami bawa ayam iki bu. Masakin opor yoo bu." Teriak Suparmin kepada Mbok Darmi

"Iya nduk. Jangan teriak-teriak. Sek, masuk dulu sana. Pasti capai kan ? " jawab Mbok Darmi.

"Ngeeh bu." Jawab Suparmin singkat.

Sementara itu, Pak Martono kemudian datang menghampiri istrinya sambil menyerahkan kantong plastik yang berisi beras yang baru ia beli dari pasar. Mbok Darmi tersenyum namun kemudian senyum itu ditepis karena melihat ekspresi muka Pak Martono yang terlihat gelisah dan sedih dalam waktu bersamaan. Mbok Darmi yang melihat ekspresi suaminya seperti itu lalu menanyakan perihal apa yang membuat Pak Martono tampak resah. Pak Martono diam sejenak dan berucap,

"Si Donny tadi menemui bapak di pasar bu. Dia liat Suparmin. Dia mengancam. Dia bilang, bagaimanapun bapak tidak boleh membocorkan rahasia yang bapak lihat dan bapak dengar malam itu. Bapak hanya tidak ingin orang yang tidak bersalah dan orang yang berjuang untuk negaranya itu mati dengan sia-sia ditangan para pengkhianat Negara dan para pelakunya hanya diam dan santai menikmati sisa akhir hidupnya dengan tenang. Bapak ndak mau hal itu terjadi. Bapak juga takut akan keselamatan keluarga kita tapi keadilan tetap harus ditegakkan. Bapak akan menemui Pak Yani malam ini. " jelas Pak Martono kepada sang istri.

"Yallah gusti, pak. Bagaimana pun, ibu sangat mengkhawatikan akan keselamatan bapak. Sebaiknya bapak diam saja pak, tidak usah ikut campur hal itu. Ini masalah penting pak, nyawa taruhannya. Biarlah para jenderal itu menjadi urusan mereka. Kita rakyat desa yang kecil pak. Si Donny itu punya kuasa disini. Punya kekuatan. Ibu takut terjadi apa-apa dengan keluarga kita." Singgah Mbok Darmi

"Yallah bu. Bisanya ibu berpikiran seperti mereka. Jangan apatis bu. Meskipun kita rakyat kecil, hati kita harus besar. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kondisi kita sendiri. Kita merdeka juga berkat perjuangan mereka, meskipun mereka sudah disiksa dengan sedemikian kejamnya, setidaknya kita bantu para polisi menangkap pelakunya. Sudah cukup kita diam di saat yang salah bu. " jawab Pak Martono.

Mbok Darmi yang mendengar hal itu hanya diam. Dalam hatinya sedang terjadi gejolak yang amat sangat besar. Ia sangat bingung sekali. Keselamatannya ataukah kebeneran yang akan diungkapkan. Kedua hal itu sangat penting hingga ia sangat bingung dalam memilih. Ia bungkam seribu bungkam, karena ia tahu bahwa suaminya adalah orang yang berkemauan keras. Sekali ia mengatakan iya, ia akan memperjuangankanya. Sebaliknya juga begitu, ketika ia katakana tidak maka tidak ada yang bisa merubah keputusan tersebut termasuk istrinya. Mbok Darmi yang kalut kemudian diam dan masuk kedalam rumah sambil membawa kantong plastik yang berisi beras yang dibawa oleh suaminya tadi. Ia pikir, dengan memasak mungkin bisa menenangkan gejolak yang ada dihatinya saat ini.

Pak Martono masih ada diluar rumah. Menikmati rindangnya teras rumahnya saat ini. Ia tidak sekedar menikmati, jauh dalam pikirannya melayang semua kemungkinan terburuk yang akan menimpanya dan keluarganya nanti. Malam ini, ia sudah memantapkan hatinya untuk menemui Pak Yani. Ia bersama pak Yani akan membongkar rahasia dan kedok Donny didepan aparatur Negara besok, pagi-pagi sekali. Dalam hati, ia sudah sangat yakin kalau ini adalah keputusan yang terbaik untuk pihak siapapun. Ia memutuskan masuk kedalam rumah setelah mendengar teriakan istrinya yang memanggilnya untuk makan siang bersama. Ia masuk dan menikmati makan siang bersama putra tercintanya. Entah mengapa, ia merasa sedih saat memakan nasi dan ayam opor yang dimasak oleh Mbok Darmi. Ia merasa seperti akan pergi jauh sekali. Ia menepis pikiran buruknya dan segera melahap makananya. Ia beberapa kali memuji masakan istrinya dan bilang bahwa masakan sang istri tidak ada duanya didunia dan akhirat. Istrinya bingung. Kenapa bawa akhirat segala ? Tetapi Mbok Darmi hanya menganggap itu sebuah pujian atas kerja kerasnya memasak opor. Tanpa Pak Martono sadari, bahwa sebenarnya itu kenangan bersama istri dan anaknya untuk terakhir kalinya. Ia tidak sadar bahwa kebersamaan yang saat ini terjadi akan menjadi momen paling menyedihkan yang pernah ia ingat. Suap demi suap ia habiskan dan setelah selesai ia mengajak anaknya untuk memancing di sungai. Ia seakan ingin memberi momen terakhir yang indah untuk buah hatinya. Suparmin mengangguk dan segera menghabiskan nasi terakhir dipiringnya. Ia sangat senang karena hari ini ia habiskan waktunya tidak untuk berkebun di kebun tetapi ia habiskan bersama ayah tercinta. Ia segera mengambil kail dan menyusul ayahnya yang sudah sedari tadi menunggunya diluar rumah. Ia pergi memancing hingga matahari tenggelam diufuk barat dan pulang sambil membawa tiga ekor ikan ukuran sedang dan satu buah ikan yang berukuran besar. Ia pulang dengan penuh peluh didada. Bukan, bukan tanda ia capai karena memancing melainkan karena semangat dan rasa senang akan adanya hari ini. Hari yang sangat berarti baginya. Hari paling menyenangkan dan juga sekaligus menjadi hari yang paling buruk dan menyedihkan baginya. Ia pulang dan masuk kedalam rumah disusul oleh ayahnya. Pak Martono merasa sangat bahagia menyaksikan putra semata wayangnya begitu bahagia. Dalam hati, Pak Martono berjanji bahwa ia takan membuat anaknya sedih dan menderita. Azan magrib mulai berkumandang diseluruh penjuru desa, Pak Martono dan Suparmin segera bersiap dan menuju masjid untuk menunaikan ibadah mereka. Mbok Darmi yang beribadah di rumah sangat senang menyaksikan suami dan anaknya pergi ke masjid. Ia ingin kebahagian dan momen indah ini terjadi setiap hari. Hingga sepasang suami dan istri tersebut terlena dan melupakan peringatan dari Dony. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kegiatan mereka diawasi oleh beberapa orang yang mereka tidak ketahui keberadaaanya. Orang yang mengawasi mereka sangat cerdik hingga keluarga Pak Martono sama sekali tidak menyadari kehadiran orang ini. 

Keadilan Terakhir untuk JendralWhere stories live. Discover now