12 November 1965

88 1 0
                                    

Saat itu hujan deras menimpa daerah sisi timur Kota Nganjuk, Jawa Timur. Hujan tidak berhenti mungkin sudah semenjak dua jam yang lalu. Kota kecil ini syahdu dan seolah berirama sesuai dengan tiap tetes hujan yang jatuh. Sementara itu, disebuah rumah kecil dengan dinding dari daun tembikar yang dianyam dan beralaskan tanah, seorang anak meringkuk dipangkuan ibunya. Anak itu terus meringis dan memegangi perut kecilnya. Bajunya yang lusuh terus ia remas dengan harapan mengurangi rasa sakit perut yang menderanya. Ibunya hanya bisa terus menangis melihat putra satu-satunya itu sambil mencoba menenangkan. Bukan karena sakit perut biasa yang dialami anak tersebut, melainkan sakit perut yang disebabkan tidak terisinya perut bocah sepuluh tahun tersebut dari kemarin malam. Ia dan ibunya sedang menunggu kedatangan sang ayah berharap ayahnya membawa sesuap nasi untuk mengisi perut kecilnya. Ia semakin meringuk, semakin menahan rasa sakit yang tak kunjung reda dan menyebabkan air mata selalu lolos melalui sela-sela matanya meskipun ia telah berusaha sebisa mungkin menutup matanya. Sementara diluar rumah, tidak ada tanda-tanda bahwa hujan ini akan berhenti. Yang ada hujan semakin menambah frekuensi jatuhnya disertai dengan suara gemuruh dan ledakan-ledakan dilangit. Seolah, dewa langit saat itu sudah sangat murka. Suara petir dan guntur yang sahut menyahut menyebabkan pendengaran setiap orang menjadi kurang. Perlahan, Mbok Darmi, ibu dari bocah yang sedang melawan rasa laparnya itu mendengar suara ketukan dipintunya. Pelan sekali. Hampir tidak terdengar malahan. Namun ia segera beranjak dari alas yang ia duduki sedari tadi yang sudah sedikit basah dikarenakan rembesan air hujan yang masuk melalui celah rumahnya. Ia berjalan dan membuka perlahan pintu tersebut. Nampak seorang lelaki berumur sekitar 45 tahunan sedang membawa setumpuk ubi jalar. Mbok Darmi tersenyum. Itu adalah suaminya, Pak Martono, ayah dari seorang bocah yang kelaparan tadi.

"Kok lama sekali Pak ? " Tanya Mbok Darmi

"Iya, tadi bapak ketemu temen yang sedang kesusahan. Makanya bapak tolong dulu. Si Ratmi anak Pak Darmo dipatuk ular saat hendak memetik kangkung liar di sawah bu. Makanya tadi bapak sibuk buat obat penawarnya. Syukurlah si Ratmi dapat tertolong." Jelas Pak Martono

"Oh... syukurlah si Ratmi bisa selamat pak. Punten pak, kesiniin ubi jalare. Biar tak rebus kasihan si toleh sudah sangat lapar sekali. Bapak istirahat dulu, sebentar ibu bikinin kopi supoyo gak masuk angin" balas Mbok Darmi kepada suaminya

Ucapan yang dilontarkan oleh Mbok Darmi hanya dibalas anggukan oleh Pak Martono. Pak Martono segera mendekati anaknya dan memeluknya perlahan. Tak terasa air mata keluar dari sela-sela matanya, ia merasa sangat gagal menjadi ayah. Bahkan ia tidak mampu menjaga perut anaknya dari rasa lapar. Apalagi membuat hidup anaknya sejahtera. Sementara itu, Suparmin hanya menatap lemas ayahanda. Ia menyunggingkan sedikit senyum dan berkata,

"Kenopo nangis si pak ? Toleh ga papa. Toleh ga lapar. Toleh cuman kedinginan."

Mendengar ucapan sang anak, ayah yang saat itu sedang merasa gagal kembali meneteskan air matanya. Ia tahu anaknya berbohong untuk menghibur hatinya. Perlahan, tangan kecil yang dingin itu mengusap pipinya yang berkerut berusaha untuk menghapus air mata sang ayah. Sangat pelan sekali. Sang anak dapat merasakan setiap kerutan di wajah sang ayah termasuk luka sabetan berbentuk bulan sabit di sisi kiri wajah sang ayah. Ia dapat merasakan betapa sang ayah sangat berjuang demi sesuap nasi yang ia makan. Di lain sisi, Mbok Darmi ikut terenyuh dan ikut menangis menyaksikan percakapan ayah dan anak tersebut. Ia segera mengusap air matanya dan segera menghampiri sang suami.

 "Monggo pak, ini kopine. Diminum. Ganti baju juga supaya ga iso masuk angin. Nanti ibu pijiti.. " tawar Mbok Darmi.

 "Makasi banyak ya istriku. Kamu memang mengerti aku." Balas pak Martono

" Ngeh, sami-sami pak. Itu memang sudah tugasku sebagai istrimu. Oiya leh, sabar yaa nduk sebentar lagi ubine bakalan masak. Tahan sebentar lagi ya nduk." Ucap Mbok Darmi kepada anaknya, Suparmin yang hanya dibalas senyuman oleh sang anak.

Begitulah malam itu berlalu, suasana cukup haru terjadi diantara keluarga kecil yang hangat itu. Malam itu mereka habiskan untuk bercerita kejadian apa saja yang terjadi pada Pak Martono pada hari itu. Ubi rebus mereka habiskan perlahan dan dua gelas kopi beserta satu gelas teh sudah habis dan hanya meninggalkan ampas pada ujung dasar gelas. Malam itu, hujan seakan tahu bahwa keluarga itu sedang mencoba menghibur diri dan memperhangat suasana sehingga volume dari hujan tidak terlalu menganggu hantaran suara yang mereka timbulkan. Alam seolah ikut mendengar dan menyimak cerita-cerita yang dibawakan oleh Pak Martono kepada keluarga kecilnya. Cerita dan canda tawa mereka perlahan berkurang hingga akhirnya mereka semua tertidur. Alam tidak menampilkan Guntur dan petirnya agar keluarga itu dapat nyenyak tidurnya.

                                                                                   

Keadilan Terakhir untuk JendralWhere stories live. Discover now