Bab 7 Alien

2.5K 123 1
                                    

Setibanya di IGD, ternyata sudah banyak berkumpul teman-teman mahasiswa SEMA Fakultas Teknik, dari berbagai strata, yang sejurusan dengan Ustadz Andi. 


Ustadz Andi kuliah paska sarjana S3 di jurusan Teknik Industri. Beliau mengalami kecelakaan bus sepulang dari Helwan, kota industri yang menjadi lahan riset untuk disertasinya.


Beberapa mahasiswa yang memiliki golongan darah sama dengan Ustadz Andi, termasuk Fariz, bergegas menuju UTDC. Darah mereka akan dites kecocokannya dan diambil di ruangan tersebut. Sebagian mahasiswa lainnya, mengecek korban-korban kecelakaan dari kalangan masisir.


Kanaya sendiri langsung menerobos masuk, mendapati Bibi Shafira didampingi dua anak cowoknya, di ruang tunggu khusus. Paman Andi sudah masuk ruang operasi. Mereka saat ini sedang menanti detik demi detik prosesnya. 


Syukurlah, jumlah stok ditambah donor darah dari beberapa mahasiswa, ternyata mencukupi kebutuhan operasi. Beberapa kantong darah diantarkan oleh petugas UTDC ke ruang operasi darurat di IGD. 


Setelah empat jam yang menegangkan, jiwa Ustadz Andi berhasil diselamatkan. Keluar dari kamar operasi, langsung diantar ke ruang ICU. 


Selama itu, Kanaya terus-menerus di sisi Bibi Shafira. Beberapa mahasiswi ikut pula menemani. Mereka sesekali bolak-balik ke rumah Ustadz Andi, mengambilkan keperluan selama di rumah sakit.


Perselisihan di atas bus, tenggelam dari ingatan Kanaya. Kelegaan menyaksikan paman tertolong, melunturkan segala ketegangan dan letihnya. 


Malam telah jauh melampui waktu Isya, saat Kanaya disuruh pulang oleh bibi, bareng rombongan mahasiswi. Namun, gadis itu enggan. Masih betah menjaga paman dalam ruang ICU.


"Nggak usah ikut nginap. Pulang aja. Lagian di ICU nggak boleh ditunggui lebih dari dua orang." 


"Uci bisa tidur di ruang tunggu, Bi.” 


"Ah, nggaklah. Kurang pantas anak gadis bobo di ruang tunggu." Bibi Shafira mengibaskan tangan, tanda tak suka.


"Tapi Uci pengen nungguin sampai paman sadar," ungkap Kanaya, agak memelas. Pamannya memang belum siuman dari pengaruh obat bius.


"Kata dokter, vital sign-nya udah stabil. Tinggal diawasi aja. Nggak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Perawat ICU juga standby di sini, kok, observasi intensif. Nanti kalo ada apa-apa, Bibi kabari. Kamu tidur di rumah Bibi aja, supaya lebih dekat."


Paras Kanaya mendung. Ia tak membantah lagi. Akhirnya, berpamitan. Saat berjalan, perutnya tiba-tiba keroncongan. Kanaya segera tersadar, sejak siang belum makan. Badannya juga lengket dan gerah, belum mandi. Samar tercium bau keringat dari kerudung dan gamis yang tak diganti. Olala, ia paling tak betah dekil dan bau begini. 


Bibi Shafira benar. ia lebih baik pulang. Selain kurang nyaman menginap di ruang tunggu, ia pun tak mempersiapkan sepaket pakaian ganti, seperti khimar, jilbab, tsaub dan kaos kaki. Ia juga butuh handuk dan perlengkapan mandi. 


Kanaya berniat pulang ke asrama, sebab keperluannya ada di sana. Besok pagi-pagi baru ke rumah Bibi di kawasan Darrasah, untuk mengambilkan kekurangan barang-barang yang dibutuhkan beliau selama di rumah sakit. Diliriknya jam pink bermotif kitty yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Ternyata sudah pukul sembilan malam. Ini waktu tidurnya. Pantas matanya sepet. Jika telat tidur, bisa kelewatan  sholat malam. Murojaah bakal terlambat juga. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Kondisinya darurat. Ia harus merelakan sebagian amalan sunnahnya tertunda.


Langkahnya gontai ke luar ruang ICU. Menuju ruang tunggu khusus yang putih bersih, adem ber-AC. Tak dinyana, di situ ia disambut kelengangan. Hanya ada dua orang laki-laki yang tertidur di kursi panjang. Tampaknya keluarga pasien.


Kanaya celingukan. Lho, kemana kakak-kakak mahasiswi yang tadi berkumpul di sini? Apakah sudah pulang? Apa ia lupa berpesan agar mereka menantinya supaya bisa pulang bersama?


Gadis imut ini segera merogoh saku gamisnya yang dihiasi pita unyu. Bibirnya mendesah kecewa kala memeriksa ponsel. Ada chat dari Kak Nalwa, kakak SEMA S2 fakultas teknik, yang seasrama dengannya.


[Nay, maaf, kami pulang nggak pamit ke dalam, ya. Khawatir ngeganggu. Lagian kamu nggak minta tungguin 'kan? So, kami pikir kamu nginap di rumah sakit. Insya Allah besok kami jengukin Ustadz lagi]


Ah, tidaaak! 


Kanaya tersandar lemas ke dinding. Selamat tinggal mandi, ganti baju dan makan. Tidur? Apalagi. Bibi Shafira betul. Kurang pantas jika ia nekat tiduran di sini.


Niat kembali ke ruangan pasien, segera di-delete. Tidak. Ia Tidak mau merepotkan Bibi Shafira yang sudah lelah. Bisa saja sebenarnya ia meminta si Aqil –sepupunya−tidur di luar. Sehingga ia bisa tidur di dalam. Namun, Kanaya kasihan sama Aqil. Usia sepupunya itu baru empat belas tahun, tapi sudah harus menunggui Bapaknya yang kecelakaan. Lagipula Aqil tadi kelihatan lumayan stres.


Pulang sendiri, naik bus malam-malam? Tanda silang merah saja opsi ini. Tak  terjamin keamanan terhadap tindak pelecehan seksual di jalan-jalan dalam negeri yang telah terpercik warna sekuler liberal ini.


Ya sudahlah. Kanaya menghela napas panjang, meniru pemikir berat di film-film. Yang penting, Paman Andi selamat. Tak apalah aku berkorban dikit.


Gadis itu melirik sebuah bangku panjang kosong di sudut. Lalu, sambil mendekap tas kelincinya, melangkah ke situ.


"Anti belum pulang?"


Gadis itu tersentak. Tahu-tahu sesosok tinggi menjulang, telah berdiri menghalang jalan. 


Ow, Kim Tae Hyung ada di sini! Gadis itu memekik senang dalam hati. Bukan karena euforia bertemu kembaran artis Korea, tapi lebih karena merasa menemukan malaikat penolong.


"Ustadz Fariz? Wah, alhamdulillah! Anterin ana pulang naik bus, yah? Plis!" pintanya, antusias. Bersemangat tiada terkira. Tak ada sungkan-sungkannya sama sekali. Bikin Fariz, untuk ke sekian kalinya, serasa berhadapan dengan alien.


***


Bersambung

Cerita ini tamat di aplikasi KBM App dengan judul "Pengantin Imut".
Akun KBM App: EvaLiana63

Pengantin Imut (Cairo, I'm in Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang