Bab 2 Mengejar Impian

5.5K 173 4
                                    

Cairo, I'm in Love (Pengantin Imut)
By evaliana
Bab 2 Mengejar Impian

Pagi itu, menjelang waktu Dhuha, langit Bogor masih sendu sehabis menumpahkan hujan lebat semalaman. Kanaya sedang membenahi kamar ketika mamahnya datang membawa beberapa foto. Wajah wanita setengah baya itu tampak serius. Kanaya terpaksa menghentikan aktivitas rutin, lalu duduk untuk menyimak apa yang akan disampaikan mamah.

"Uci mau fokus melanjutkan kuliah di Mesir, Mah," protes Kanaya saat mamanya langsung ribut mencerocoskan beberapa profil calon suami.

Gadis bernama kecil Uci ini menyingkirkan semua foto lelaki yang dijejerkan mamanya di atas meja belajar. Kamarnya yang luas dan ber-AC, jadi terasa pengap. Kebosanan merayapi hatinya. Tak terhitung kali mamah memintanya segera menikah. Entah bagaimana meyakinkan mamah, kalau ia betul-betul ingin melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda, di negeri seribu menara.

"Jangan-jangan, kamu belum move on," desis Euis, mamanya Kanaya, cemas campur sedih. Tentu saja, ia belum melupakan tragedi gagalnya pernikahan si bungsu dengan seorang ustadz, setahun silam. Pahitnya, itu terjadi tepat di ambang pernikahan.

Alih-alih mewek, Kanaya malah tergelak.

"Apaan, sih, Mah? Udah setahun lewat, lebay amat kalo masih mikirin itu! Uci bukan Teh Meida, lho! Uci serius, nih, mau kuliah."

"Ci, kamu trauma, ya?"

"Nggak."

"Kalo gitu, sok atuh nikah wae, biar nemenin mamah di rumah. Kan, kamu sendiri pernah bilang, nggak keberatan nikah dini!"

"Lah, itu, kan, kalo ada calon yang cocok di hati, Mah." Kanaya mulai ilfeel.

"Kamu mau dicarikan yang sama kayak Kang Arka?"

"Nggaaak!" Kesabaran Kanaya hampir mencapai ambang batas.

"Pasti kamu mau nyari yang persis dia," kejar Euis, masih ngotot.

Oh, My God. Gadis penyuka pink dan pemuja kebersihan itu, mengurut dada. Rasanya lebih suka disuruh mengepel lantai lima kali bolak-balik ketimbang berdebat soal ini sama mamah. Nyebelin pisan, ih. Batinnya, sebal.

Perubahan sikap mamahnya yang kini lebih perhatian, menumbuhkan rasa senang berkelindan kecewa di hati Kanaya. Sewaktu ia kecil, perhatian mamah tersedot pada Meida yang sakit-sakitan. Bukan hanya itu, Teh Meida yang secantik putri salju, ternyata pandai mengambil hati lewat prestasi segudang. Kanaya sempat berpikir, dirinya cuma figuran atau anak angkat. Kalau pun mau disebut adik, maka ia lebih mirip adik bayangan saja. Sebab, Meida yang sepuluh tahun lebih dulu lahir ke dunia, selalu menuntut perhatian lebih dari keluarga.

Mamah mulai peduli pada Kanaya semenjak peristiwa itu. Kejadian yang mampu meluluhlantakkan harga diri keluarga. Akibat kelakuan Teh Meida yang tak disangka. Namun, walau begitu, kasih sayang papah mamah tak berkurang pada Meida, bahkan kian melindungi. Kini, Meida hidup bahagia bersama suaminya di Malaysia.

Kanaya berasumsi, mungkin kepedulian mamah papahnya, timbul karena rasa kesepian yang menggerogoti setelah Meida pergi. Sehingga mereka baru teringat, masih punya anak bernama Kanaya.

Aku hanya pelarian. Lihat saja nanti, kalo Teteh kembali, mereka pasti akan melupakanku lagi seperti biasa. Desah gadis imut ini dalam hati.

"Duh, Mamah, plis, deh. Setahun yang lalu, Uci sengaja tertunda demi bantuin Teh Meida ngurus bayi, sewaktu suaminya kuliah di Malaysia. Sekarang, Teteh udah ngikutin suami. Uci nggak ada kerjaan lagi. So, sekarang saatnya Uci kembali kuliah. Ia masih mencoba menangkis. Aku tak sudi dijadikan pelarian Mamah Papah. Batinnya, sakit.

Okeh, okeh. Euis mengangkat sepasang tangan, sok tanda menyerah. Silakan kuliah, tapi di Bogor aja, ya.

Ih, Mamah gimana, sih? Uci kan dari dulu pengennya di Al-Azhar Kairo. Susah, lho, tes masuknya. Udah diterima di sana, masa nggak dilanjutin? Bibir Kanaya membentuk garis lengkung ke bawah.

Euis terdiam lama. Wajahnya mendung dan menampakkan mata murung. Tubuhnya pun terduduk lunglai. Bikin hati Kanaya serasa diiris-iris.

"Mah, belum ridho, ya, kalo Uci pergi?"

"Iyah. Tetehmu udah ninggalin mamah. Masa' kamu juga?"

"Mah, Uci akan belajar yang rajin. Insya Allah, targetnya lima tahun," janji Kanaya, mulai kasihan. Bagaimanapun, ia tak tega membuat Mama sedih. Nasihat Ibu Wiwi, tetangga mereka di masa lalu, kerap terngiang setiap kali ia mengadu sambil menangis.

Menyenangkan hati orang tua dan memenuhi harapan mereka, merupakan bagian akhlak anak kepada orang tua. Birrul walidain namanya. Apalagi ibu kamu. Uci kepengen dapet surga, kan? Nah, surga itu di bawah telapak kaki ibu. Jadi, selama papa mama Uci tidak nyuruh maksiat, Uci harus sabar dan berusaha meraih ridho mereka.

"Kalo Mamah ngizinin Uci menuntut ilmu, pahalanya bakal ngalir juga ke Mamah." Suara Kanaya melunak. Ia meraih jemari mamah dan mengelusnya.

Euis tercenung sejenak. Lalu kembali mengungkap kekhawatiran.

"Entar kalo kamu kecantol cowok Mesir, gimana? Bisa nggak pulang-pulang, dong! Mamah juga khawatir kalo kamu ditimpa kejadian yang sama dengan tetehmu"

"Astaghfirullah, Mamah, kejauhan amat mikirnya. Kanaya terbelalak. Oke, deh, gini aja. Uci janji nggak bakalan nerima cowok Mesir. Pake produk dalam negeri aja. Nggak pake impor juga. Gimana, Mah, mau syarat apa lagi?"

"Calon suami kamu kudu orang Sunda yang tinggal di Jawa Barat juga. Biar nggak jauh jenguk mertua."

"Ashobiyah, dong ...." Mata bundar jeli milik Kanaya berputar. Refleks memonyongkan bibir. Mamah segitunya, ih. Gerutunya dalam hati.

"Kamu mau diizinkan ke Mesir atau nggak, nih?" Mata Euis membulat, galak.

"Okeh, okeh." Kanaya mengangkat sepasang tangannya. Mengalah.

"Nanti Mamah hubungin Ustadz Andi, adek bungsu papahmu yang S3 di Mesir. Biar dia mencarikan jodoh sesama mahasiswa di Kairo. Trus, lanjut nikah paling lambat tahun depan, supaya mamah tenang."

"Siyap, Mah, eh, apa? Tahun depan? Lho, kok, masih disuruh nikah, sih?" Sang dara protes berat. Namun, mamahnya melambaikan tangan, mengisyaratkan bahwa pembicaraan selesai, dan keputusan telah final.

***

Bersambung
Novel cetak ready
Cerita ini berlanjut dan tamat di KBM App

Pengantin Imut (Cairo, I'm in Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang