Part 4 diomeli kernet
Panik itu, kadang bikin nalar kurang rasional. Fokus blur. Terlalu cemas, dipenuhi bayangan yang bukan-bukan. Akhirnya akal sehat pun ambyar.
Sebenarnya jika ingin cepat sampai ke rumah sakit, bisa memanfaatkan careem. Aplikasi mobil online di Mesir, sejenis grab kalau di Indonesia. Namun, Kanaya memang mudah panik jika ada insiden. Terlebih lagi ia memahami, jika naik taksi online hanya ditemani sopir, bisa terkena hukum keharaman khalwat.
Sifat ini cukup merugikan dirinya. Gara-gara salah paham dan panik, ia pernah memutuskan rencana pernikahan secara sepihak dengan Ustadz Arka, calon suami pilihan mamanya. Sama sekali tidak mencoba memastikan lebih dulu fakta sebenarnya. Belakangan, baru menyesal. Mencoba remedial sudah tak mungkin lagi. Karena bagi Ustadz Arka yang terpaut sembilan tahun lebih tua darinya, nikah itu bukan permainan yang gampang ditarik ulur.
Kanaya sempat menyesali kekhilafan yang susah ditawar-tawar ini. Semenjak itu, ia bertekad bulat untuk tidak gampang panik. Belajar memikirkan lebih matang setiap tindakan atau keputusan.
Akan tetapi, yang namanya proses, tak semudah membalikkan telapak tangan. Sejenius apa pun Kanaya, mental mudah kaget dan cemasnya, telah terpatri sejak kecil. Maklum, sering melihat keluarga panik gara-gara Teh Meida yang kerap sesak mendadak akibat penyakit jantung bawaan.
So, jangan salahkan Kanaya, ketika saking khawatirnya ketinggalan bis, spontan menyambar tangan Fariz.
Pemuda itu tersentak. Sekonyong-konyong menepiskan sekaligus mendorong jemari mungil yang mencengkeram pergelangan tangannya. Seolah ada alarm tanda bahaya menyala di benaknya.
Bukan mahram. Bukan mahram. Bukan mahram.
Tak ayal lagi, Kanaya yang telanjur menumpukan seluruh berat tubuhnya menggunakan tangan Fariz, otomatis terjungkal.
"Aaah!" Gadis itu menjerit. Kaget bukan alang-kepalang. Tubuhnya meluncur. Jatuh bergedebuk di aspal keras. "Astaghfirullah, Ya Allah! Subhanallah ...." Butiran bening terlompat dari sepasang mata bundar jeli. Kanaya terduduk. Meringis dan menangis kesakitan.
"Aduh, sakiiit ...."
Orang-orang di bus ramai melongok. Kernet bus seketika mericau ribut dalam bahasa ammiyah Mesir.
Fariz menyambut kicauan sang kernet sambil menangkupkan sepasang tangan di depan dada. Tanda memohon maaf. Lalu, dengan gugup, melompat turun. Terpaksa membuang tabu. Bermaksud membantu Kanaya berdiri.
Beberapa teman mahasiswa meminta keringanan pada sopir bus untuk menunggu. Syukurlah sang sopir mau menoleransi alasan ingin menjenguk kenalan yang gawat darurat di rumah sakit.
Saking enggannya membantu, Fariz sampai menyembunyikan sepasang lengannya ke balik punggung. Terus terang, ini pertama kalinya ia berniat menawarkan bantuan kepada lawan jenis. Interaksi yang sangat tidak menyenangkan bagi pemuda ini. Hidup selama enam tahun di pondok, plus pengabdian lima tahun, membuatnya nyaris steril dari perempuan non-mahram.
Pemuda itu mengembuskan napas lega tatkala menyaksikan Kanaya sanggup bangkit sendiri dan berjalan tertatih. Gadis itu bertumpu pada palang besi dekat pintu bus, lantas menaiki tangga dengan susah payah. Fariz menyusul di belakang.
Beruntung masih ada dua bangku kosong di sisi kanan. Kanaya mengambil posisi dekat jendela. Mulutnya masih mendesis-desis nyeri sambil menggosok-gosok pinggul yang tercium aspal.
Wajah imut yang basah air mata, ditambah bibir mungil cemberut dan mimik meringis, bikin hati Fariz merasa bersalah dan menyesal tidak keruan.
Akhirnya, karena bingung, ia hanya mampu berdiri canggung di lorong bus dekat bangku Kanaya. Belasan tatapan menghakimi, menghunjam jantungnya tanpa ampun. Seolah dirinya adalah pelaku kriminal yang pantas dihukum mati. Tubuh Fariz jadi gemetar. Keringat dingin membulir di pelipis. Salah tingkah. Mau berdiri salah, duduk pun salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Imut (Cairo, I'm in Love)
أدب المراهقينDemi kuliah di Mesir, Kanaya terpaksa menyetujui Letter of Intent mama papa, yaitu menikah dini, dengan Fariz Al Muzakki. Fariz, pemuda pendiam yang minus emosi, tak menyangka juga, jalan jodohnya bersama Kanaya. Pasangan muda ini bikin iri para jo...