--

138 13 2
                                    

Siang yang begitu terik. Dahi dan pelipisku sudah basah akibat keringat, apalagi remedial matematika yang menghambat jam pulang tadi masih begitu terasa euforia-nya.

Aku berhenti di halte bus. Kepalaku terasa mau terbakar saat ini, untung saja ada penjual minuman asongan yang juga sedang beristirahat di halte tempatku berdiri.

Aku membeli sebotol minuman bersoda. Mungkin ini bisa sedikit membasahi tenggorokanku yang mulai kemarau, suaraku sudah hampir habis untuk meneriaki Charlie sepulang tadi.

Charlie Otto--, entah siapa aku lupa namanya. Dia memberhentikan motornya tepat di depan pintu kelasku, padahal Bu Tanti sedang menunggu diriku menyelesaikan remedial matematika.

Aku akui, dia memang cukup berani dengan segala aksi konyolnya. Tapi aku tidak sedikitpun merasa kagum dengan usahanya.

Biar aku ceritakan sedikit.

Brumm.. Brum...

Deru dan juga asap kendaraan membuatku batuk. Bu Tanti keluar kelas, mencoba memastikan siapa yang sudah berbuat seperti ini. Mataku selalu setia mengekor gerakan Bu Tanti, ya karena di ruang kelas ini hanya ada kami berdua.

Belum juga langkah kaki Bu Tanti genap untuk mencapai pintu, di ambang pintu sudah ada Charlie dengan senyumnya yang konyol sedang menatapku dan Bu Tanti bergantian.

Sial, aku segera menutupi wajahku dengan kedua tangan. Kedatangan Charlie pasti akan menjadi bencana. Benar, kan? Sekarang cowok berambut cokelat itu berjalan ke arahku. Apakah dia tidak bisa melihat Bu Tanti yang sudah merah karena menahan amarah?

"Waktunya pulang tuan putri," ucap Charlie lalu berjongkok di hadapanku.

Aku tidak menjawabnya, mataku terfokus menatap Bu Tanti meminta pertolongan. Dan aku berhasil.

Bu Tanti menjewer telinga Charlie sambil membawa cowok itu keluar kelas. Akhirnya aku bisa menyelesaikan remedial, yang aku tahu sebenarnya tidak ada gunanya juga remedial, nilai malah semakin jelek.

"Akhirnya," aku berjalan keluar dari ruang guru yang begitu sesak.

Sudut mataku menemukan sosok Charlie sedang berdiri di samping motor matic-nya. Senyumannya jelas terarah kepadaku. Tangannya melambai, menyuruhku untuk menghampirinya.

Mengapa dia selalu menggangguku? Padahal aku sudah berkali-kali menolak. Apakah ia sudah tidak punya urat malu? Atau dia tidak bisa mendengar kata-kata pedas yang terlontar dari mulutku ini?

Aku mempercepat langkah kakiku. Sedikit rambut aku turunkan untuk menutupi wajahku, persetan dengan Charlie yang sudah melambai tadi. Aku harus segera pergi.

"Na! Fiona!"

Pekik Charlie dari balik tubuhku. Entah kapan tangannya sudah menahan pergelangan tanganku.

"Lo ngapain pegang-pegang tangan gue?!" kataku yang cukup kasar.

"Ya Lo sendiri yang bikin gue ngejar Lo. Semakin Lo ngehindar, gue bakal semakin gencar buat ngejar Lo Na."

Mampus!

Mampus!

Koid!

"Lo udah gila Char!" tukas ku di depan wajahnya.

Bukannya sedih, tadi Charlie malah senyum-senyum tidak jelas.

"Gue emang udah gila. Gila karena Lo," balas Charlie yang membuatku bergidik ngeri.

"Charlie gila! Woy Charlie udah gila!" pekiku yang sudah ketularan gila.

Aku segera berlari meninggalkan Charlie. Semoga saja cowok itu tidak mengajrku lagi. Padahal ada banyak cewek yang naksir ke dia, tapi mengapa dia selalu menggangguku.

Nah, sekarang bus yang menuju rumahku sudah datang. Aku harus pamit dulu.

-----

Anggap aja itu prolog ya.. selamat datang di cerita absurd kuuuh:v


Jangan lupa vomment share ❤
Insyaallah aku update tiap hari

Calon Imam [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang