enam

17.5K 2.5K 148
                                    

Lagi-lagi, Miu terbangun dengan perasaan tak enak. Tubuhnya terasa pegal. Ia mengerjap sesekali, menyadari jika ia berada di tempat yang asing. Ia masih berada di mobil Senno. Miu teringat jika ia tertidur setelah menangis tadi. Ia selalu tertidur setiap kali ia menangis karena menangis selalu membuatnya lelah. Miu hampir tak pernah menangis sejak ia mulai beranjak remaja hingga kini. Namun sejak satu minggu terakhir, ia terus-menerus menitikan air mata.

Miu menegakan tubuhnya dari sandaran kursi yang diatur agak rendah. Matanya melirik ke sekitar, mendapati jika ia berada di area khusus perhentian mobil dekat kontrakannya sebelum akhirnya menatap Senno yang mengamatinya. Miu membeku seketika dan langsung membuang pandangannya. Ia tak peduli jika wajahnya kacau atau terlihat jelek. Malah bagus buatnya, supaya Senno tahu jika tidak ada yang menarik darinya dan pria itu cepat-cepat pergi meninggalkannya.

"Masih capek?" tanya Senno setelah bungkam beberapa saat.

Miu mengangguk pelan tanpa menatap pria itu. Ia hanya mau menatap jari-jarinya yang ia letakan di atas pangkuannya. Gadis itu mengkerut ketika merasakan tangan Senno berada di wajahnya.

"Udah lapar?" tanya Senno membuat Miu meliriknya tanpa menjawab.

Ia mengalihkan pandangannya dan kembali menunduk. Sejujurnya Miu memang lapar, tetapi ia tak mau makan dengan Senno. Ia punya perasaan jika ia menjawab pertanyaan pria itu, ia tetap akan terjebak bersamanya.

"Saya anggap jawabannya iya," kata Senno sembari mematikan mesin mobil (yang baru Miu sadari menyala sejak tadi). "Kita makan di kontrakan kamu."

Miu ingin menolak, tetapi pria itu sudah turun lebih dulu. Alih-alih membuka pintu untuk Miu, ia membuka pintu belakang mobilnya untuk mengambil kantung plastik yang Miu prediksi berisi berbagai macam bahan makanan karena ada daun seledri yang sedikit menjuntai keluar dari kantungnya. Miu mau tak mau turun dari mobil, diam-diam mengamati Senno yang sedikit kesulitan menutup pintunya. Tanpa bicara Miu membantunya menutup pintu, berusaha tetap menjaga jarak dengan Senno.

Senno tersenyum tipis ketika melihat Miu yang masih enggan menatapnya. Lihatlah, meskipun ia takut pada Senno, ia masih berusaha bersikap sopan. Tidakkah gadis ini sangat manis? Miu beranjak hendak pergi ketika tanpa sengaja bertemu dengan sekelompok adik tingkatnya di kampus yang juga tinggal di kontrakan yang sama dengannya. Mereka nampak tercengang, seolah melihat sesuatu yang luar biasa.

Miu terdiam di tempatnya, beradu tatap dengan kelompok adik tingkat itu (yang jarang ia lakukan karena rata-rata dari mereka tak pernah berinteraksi dengannya) kemudian melirik ke arah yang mereka lihat. Ah. Mobil Senno. Pria itu sepertinya mengganti mobilnya atau malah pria itu punya banyak mobil.

Wajar saja mereka tercengang. Jarang ada mobil mewah seperti yang digunakan Senno bisa parkir di depan sini. Miu sedikit tersentak ketika Senno tiba-tiba saja melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu. Ia mendongak untuk menatap Senno sesaat.

"Mau sekalian saya gendong ke kontrakanmu?"

Miu mengerjap dan membuang pandangannya. Kemudian ia segera berjalan mendahului Senno melewati sekolompok adik tingkatnya itu untuk beranjak menuju kontrakannya. Senno mengikutinya dari belakang sambil membawa kantung belanjaannya. Setiap kali Miu berpapasan dengan orang-orang yang satu kampus dengannya, setiap kali pula ia mendengar decakan kagum mereka. Miu tak tahu apa yang membuat mereka seperti itu ketika melihat Senno.

Ia berbalik, melirik Senno yang dua langkah berada di belakangnya. Jika yang mereka kagumi adalah wajah, maka Miu juga harus jujur jika Senno benar-benar tampan. Dengan rambut yang sedikit berantakan dan kemeja merah yang ia kenakan membuatnya jauh lebih tampan dan seksi. Tipikal pria yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.

Senno memiringkan kepalanya sedikit dan tersenyum ketika melihat Miu menatapnya. "Kenapa?"

Miu mengerjap, seketika berbalik dan melesat lebih dulu meninggalkan Senno. Pria itu menyeringai tipis dan melangkah lebar menyusul Miu, sementara gadis itu masih berusaha mengabaikannya walau ia tahu ia tidak akan bisa. Senno pasti punya caranya sendiri untuk membuat Miu menatapnya. Gadis itu masih membisu seribu bahasa sembari membuka pintu kontrakannya.

Namun, ia membeku lagi. Bagaimana cara Senno mengetahui jika ia tinggal di sini? Miu beralih kepada Senno lagi. Pria itu sudah berdiri di belakangnya, menatapnya bingung dengan sebelah alis terangkat.

"Kenapa lagi?" tanya Senno membuat Miu akhirnya buka suara.

"Kenapa Om tau aku tinggal di sini?"

Sudut-sudut bibir Senno tertarik. Ia melangkah mendekati Miu yang berdiri di depan pintu, menatap wajahnya lekat dengan mata tak lepas memandang gadis itu. Melihat Miu yang mulai berani berkomunikasi dengannya membuat Senno merasa agak senang.

"Kamu udah berani nanya-nanya ke saya? Tadi baru aja nangis-nangis ketakutan," goda Senno membuat Miu terdiam dengan wajah memerah.

Pria itu terkekeh pelan, mendorong Miu dengan tubuhnya masuk ke dalam kontrakan. Mau tak mau, Miu melangkah mundur dan memberi jalan bagi Senno untuk masuk. Pria itu menatap kontrakannya, nampak mengamati untuk beberapa saat.

Kontrakan Miu kelihatan bersih dan rapi walau kecil. Paling tidak ia punya dapur. Ruang tamu dan ruang tidurnya tidak dipisahkan oleh apapun. Dapurnya juga berada di ruangan yang sama. Senno bertanya-tanya bagaimana bisa Miu tinggal di kontrakan ini. Setahunya, tempat ini terlalu berbahaya bagi seorang gadis seperti Miu.

"Saya kaget waktu denger kamu tinggal di sini. Daerah ini rawan perampokan, tapi kontrakan kamu bagus," kata Senno membuat Miu menatapnya lagi. "Cuma jangan pulang kemaleman. Kalau ada apa-apa, kamu telepon saya. Nomornya udah ada di hapemu."

"Kenapa?" tanya Miu pelan. "Kenapa aku harus cari Om kalo ada apa-apa?"

Senno terdiam sejenak, tersenyum geli sembari meletakan kantung belanjaannya di atas meja ruang tamu Miu. Ia menarik tubuhnya dan mengusap wajahnya lembut, membuat Miu sempat mengerut ketakutan untuk beberapa saat.

"Memang nggak boleh saya begini sama calon istri saya sendiri?" Senno tersenyum seraya menyelipkan anak rambut Miu ke belakang telinganya. "Kamu harus belajar lebih tergantung sama saya, baby."

"Aku nggak mau," bisik Miu pelan sambil menunduk, "jadi istri Om."

Tentu saja Senno tahu Miu tak mau. Namun, ia tak menerima penolakan.

Senno menyeringai, menyentuh dagunya supaya gadis itu menatapnya. "Saya tinggal mengulang kejadian di apartemen saya minggu lalu. Lagian, saya yakin kamu udah siap untuk seks."

Mendengar ucapan Senno, Miu refleks melangkah mundur dan menatap Senno ketakutan. Tatapan itu lagi. Senno menarik napas pelan. Ia tak mau membuat Miu ketakutan apalagi sampai menangis. Namun, sepertinya memang harus ada sedikit ancaman.

"Tapi, itu pilihan kamu. Kamu bisa nurut dan jadi gadis baik, atau saya tinggal perawani kamu biar patuh sekalian."

Senno melangkah mundur ketika ia menyadari Miu sangat ketakutan. Ia tersenyum walau hatinya merasa tak enak. Ia tak mau melihat gadis itu begini, tapi apa boleh buat.

"Udah hampir jam tujuh. Kamu mandi, biar saya masak buat makan malam," katanya melembut.

Miu menutup mulut, dengan patuh menuruti perintah Senno, sementara pria itu menatap Miu yang sedang beranjak mengambil pakaian gantinya di lemari. Senno menghela napas ketika gadis itu masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu.

Senno sejujurnya sudah berpikir untuk merenggut kegadisannya hari ini ketika ia melihat Miu di lorong. Hanya itu pelajaran yang bisa ia pikirkan ketika ia melihat Miu berjalan ke arahnya dengan kepala tertunduk. Ia tak mau membuat gadis itu semakin kacau dan ketakutan. Sudah cukup ia mendengar laporan Lucas tentang betapa murungnya gadis itu. Jika Senno melakukan apa yang ia pikirkan, Miu bisa saja membencinya seumur hidup.

"Jadi, berapa lama yang saya perlukan sampai kamu siap jadi istri saya?" gumam Senno pada dirinya sendiri sembari meraih kantung belanjaannya dan meletakannya di atas meja makan kecil di dapur Miu.

Bukan berapa lama, tetapi bagaimana meluluhkan Miu, Susenno Aditaksa. Ia menarik napas pelan, entah bagaimana caranya, Miu harus menjadi miliknya.

Ma ChérieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang