Rose yang tangannya di pegang oleh Bram tak berdaya, tapi bukan berarti dia menyerah. Jika dia tak bertindak sekarang dia akan berakhir kehilangan hal yang paling berharga. Ia tak bisa meminta bantuan yang bisa ia lakukan adalah membantu dirinya sendiri. Jadi, ketika Bram mulai menciumnya dan melesakkan lidah dalam mulutnya dia langsung menggigit lidah itu hingga Bram merasakan amis darah bercampur di mulutnya.
"Ahh." Bram mengerang sakit dan melepaskan tangan Rose dan saat itu adalah waktu yang tepat untuk Rose melarikan diri, dia mengambil vase bunga dan melemparkannya tepat ke wajah Bram.
"Wanita sial," runtuk Bram yang merasa berkunang-kunang karena lemparan vase Rose di kepalanya.
"Sial sial sial." Rose terus saja mengumpat saat ia tak bisa membuka pintu dan kini pilihannya adalah keluar lewat jendela lantai 3 ini.
Dia memejamkan matanya saat membuka jendela. Terpaan angin mengenai wajahnya dan sekarang tak ada keraguan saat ia menoleh ke belakang dan melihat Bram berjalan ke arahnya.
Rose bukan orang bodoh yang akan meloncat ke bawah di meloncat ke atas AC yang berada di lantai 2 . Untuk sementara dia aman karena AC masih bisa menopang tubuhnya yang tak seberapa berat, tapi sayangnya masalah bukan di sana, masalahnya adalah saat Bram mulai menembakkan pistol ke arahnya.
"Kamu tahu Rose, orang yang tak berguna harusnya mati," kata Bram dan tak lama kemudian timah panas keluar dari moncong pistol itu. Memang tak mengenai Rose mungkin karena efek pening Bram, tapi tembakan itu membuat tubuh Rose limbung hingga jatuh, tapi ia termasuk beruntung ia tak langsung jatuh tanah.
Tubuhnya menghantam canopy terlebih dulu baru jatuh ke tanah, kepalanya pening dan ada sedikit benjol di bagian belakang, tapi tak sampai berdarah sementara punggungnya terasa nyeri ditambah dia yang tak bisa merasakan tangan kanannya yang sepertinya patah, tapi setidaknya kakinya masih bisa digunakan untuk lari walaupun terseok-seok.
"Ah sakit," rintihnya, tapi jangan harap sakit akan menghentikannya apalagi beberapa anak buah Bram kini berusaha mengejarnya bahkan sampai menembakkan pistol ke arahnya.
Di saat tergesa-gesa seperti itu dia berlari tak tentu arah hingga di gang sempit lalu tanpa pikir panjang dia masuk ke dalam bak sampah sebelum orang-orang jahat itu menemukannya.
Dimi berkeliling tempat ia menemukan sinyal telpon Rose terakhir kali sebuah bangunan yang terlihat masih baru berbeda dengan bangunan tempat ia menemukan Juna rumah itu tampak seperti ada yang menghuninya.
Dugaan Dimi benar di sana memang ada beberapa orang yang tengah berjaga di depan pintu dengan senjata laras panjang di tangannya.
Dimi memang berani, tapi bukan berarti dia langsung menerjang ke arah orang-orang itu, dia butuh rencana hingga tiba-tiba dia merasa seseorang menepuk punggungnya.
"Jangan teriak." Ternyata Jaeden yang langsung datang membawa bantuan 7 orang berseragam lengkap dan juga senjata di tangan mereka.
"Kapan kamu datang?" tanya Dimi.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔The Perfect Lie
RomanceAgust Dimitri seorang polisi yang ditugaskan untuk mengawasi seorang putri dari ilmuan nuklir yang menghilang tanpa jejak, Rose seorang penulis dongeng anak - anak .Hingga hal tak terencanakan terjadi, dia mulai menggunakan hatinya. Haruskah ia meng...