Hari sabtu sepertinya buka hari keberuntungan dari Arjuna Wistara. Berpikir bahwa ia akan bertemu dengan orang yang menyuruh Jihan secara diam-diam dan aman ternyata tak bisa terwujud. Sejak dia menginjakan kaki di depan sebuah gudang kosong tiba-tiba ada orang yang memukulnya dan mengarunginya. Hingga saat ia sadar dia sudah tersungkur dengan tangan dan kaki yang terikat serta beberapa bagian tubuhnya yang terasa nyeri dan perih.
Juna bisa melihat seorang lelaki berwajah menyeramkan berjongkok di hadapannya dengan senyum menyeringai yang membuat Juna ingin sekali merobek mulut lelaki itu dengan tangannya sayang tangannya sudah terikat.
"Kupikir kamu sangat menyayangi kekasihmu, tapi nyatanya tidak kamu bahkan membawanya kemari. Kamu pasti sangat membencinya bukan begitu Jihan?" kata seorang lelaki tegap berwajah menyeramkan sambil menjambak rambut Juna hingga kepalanya menengok ke atas.
"Kumohon jangan sakiti dia," kata Jihan sambil menangis di antara dua orang yang mengapitnya.
"Sssst jangan menangis Jihan kamu tahu aku nggak bisa lihat wanita menangis," katanya lalu mengelus rambut Juna. Sementara Juna masih berusaha keras membuka matanya. Segala luka yang ia dapatkan membuat kepalanya pusing dan ingin berbaring saja.
"Bawa Jihan pergi. Ada yang harus kubahas dengan tuan muda ini," kata lelaki itu pada dua orang yang sedang memegangi Jihan yang terus meronta minta dilepaskan, tapi orang yang membawanya lebih kuat hingga berhasil membawa Jihan pergi dari sana.
"Sudah kuduga kamu terlalu pintar untuk kukelabuhi. Ya seperti yang kamu lihat tadi, Jihan, kekasih yang sangat kamu cintai bahkan ingin kamu nikahi itu, dia adalah orangku. Tapi, aku nggak tahu jika dia mulai mengkhianatiku hanya karena orang sepertimu. Benar kata orang, senjata paling berbahaya adalah cinta. Bukan begitu Arjuna Wistara?" Juna hanya diam dan menatap lelaki itu dengan pandangan marah.
"Jangan pernah sentuh Jihan," kata Juna penuh dengan nada mengancam yang sayangnya hanya bisa membuat lelaki itu tertawa puas.
"Tenang saja aku tak akan menyentuhnya, tapi jika itu Rose, sahabat kesayanganmu itu aku nggak yakin bisa melakukannya. Dia tumbuh jadi gadis yang cantik dan seksi, kupikir menjadikannya pendampingku bukan masalah apa lagi jika itu bisa membuat ayahnya bekerja sama denganku."
"Jangan pernah memanggil namanya dengan mulut kotormu itu atau aku akan membunuhmu," ancam Juna
"Kamu akan membunuhku? Dengan tubuh yang lemah itu? Berhenti bergurau," katanya masih berjongkok di depan Juna yang terikat dan penuh dengan luka di tubuhnya. Tiba-tiba ponsel Juna berbunyi lagi dan kini membuat lelaki itu kesal karena sedari tadi dia terus diganggu oleh sering ponsel Juna.
"Siapa yang menelponmu? Kamu punya selingkuhan di belakang Jihan?" tanyanya dan Juna tak berkeinginan untuk menjawabnya, dia tahu dari nada dering yang berbeda itu adalah nada dering khusus yang ia berikan untuk Rose.
"Tukang makan." Lelaki itu melirik Juna yang terlihat memucat dan dari ekspresinya dia bisa tahu bahwa orang yang menelpon adalah Rose. Jadi, dia berpikir untuk mengangkat dan mengalihkan ke speaker.
"Kemana aja sih? Ditelpon nggak diangkat, gara-gara kamu aku jadi harus pergi sama kacung 2." Benar sekali dugaannya, suara itu adalah suara gadis yang sedang ia incar.
"Jika kamu mencari pemilik HP ini datanglah," katanya tenang sementara Juna berusaha keras menjangkau lelaki itu dan mencoba beberapa kali berdiri.
"Siapa ini? Di mana Juna?" Lelaki itu tertawa dia senang mendengar suara panik dari mulut Rose apalagi mendengar nada kekhawatirannya.
"Jangan panik cantik, kita nggak bakal ngapa-ngapain Juna asal kamu dateng ke sini sendiri." Lelaki itu melihat Juna yang semakin beringas padanya bahkan Juna mulai berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔The Perfect Lie
RomansaAgust Dimitri seorang polisi yang ditugaskan untuk mengawasi seorang putri dari ilmuan nuklir yang menghilang tanpa jejak, Rose seorang penulis dongeng anak - anak .Hingga hal tak terencanakan terjadi, dia mulai menggunakan hatinya. Haruskah ia meng...