Sebuah Usaha💨

146 21 0
                                    

Una kembali ke kelasnya. Ia membawa novel dari perpustakaan. dengan tampang kesal, Una menendang kursinya lalu duduk layaknya seorang preman yang tidak mendapatkan uang dari pesuruhnya.

"Lu kenapa, Na?" Tanya Cici yang duduk di depannya

Una mendekatkan kepalanya, "Lu kenal, Arka?" Tanya Una

Hilda berbalik, dengan hebohnya ia berkata, "Lo dapet gebetan?" Ucap Hilda dengan bahagianya, "Siplah, jadi gue minta traktir nih!"

Una mengerutkan keningnya, "Gebetan apanya?!"

Cici menghela napas, "Dia tadi ke sini, terus nanyain elo. Kita taunya lo ke perpus dan akhirnya, dia malah minta nomer lo."

"Terus?" Tanya Una

"Ya kita kasihlah." Ucap Hilda dan Cici bersamaan

"Haaa! Mati gue!" Sesal Una

"Emang lo kenapa?" Tanya Cici

"Dia putus sama pacarnya gara-gara gue. Terus dia pengen gue bantuin dia balikan." Ucap Una sembari menempelkan kepalanya di atas meja, seolah dunianya sedang berat.

Cici dan Hilda berusaha keras menahan tawa. Bagaimana pun, masalah Una adalah masalah mereka juga, jadi mereka harus membantu Una.

"Jadi lo maunya gimana?" Tanya Cici

"Gue mau jadi patung aja, biar gue gak perlu tanggung jawab apa pun. Karena dari yang gue bayangin, itu pasti susah!"

"Jangan nyerah dulu, Na." Ucap Hilda

Una mengangkat kepalanya, "Tapi Arka kelas berapa? Kenapa dia bisa sekolah sini? pacarnya sekolah sini juga?" Tanya Una

Hilda menoyor kepala Una, "Aelah! Arka itu seangkatan ama kita. Bedanya dia anak ipa, kita ips. Dan pacarnya itu namanya Amanda anak ips kelas sebelas." Jelas Hilda

"Oo jadi pacarnya itu Amanda dan Amanda itu adek kelas kita?"

Cici dan Hilda mengangguk, "Yup!"

"Oke-oke." Una berkedip dua kali, detik kemudian sebuah dering telepon berbunyi membuat seisi kelas menatapnya.

'Entah apa yang. . .'

Una segera mematikan sambungan telepon tersebut tanpa melihat siapa yang menelfonnya.

Una menatap tajam pada kedua temannya yang berusaha keras menahan tawa.

"Yang salah Cici, Na." Ucap Hilda lalu tertawa sambil memukul bahu Cici

Cici juga ikutan tertawa, "Enak lagunya, Na!" Ucapnya lalu kembali tertawa.

Una mengubah dering ponselnya, dengan dering biasa.

"Iseng banget jadi orang." Gerutu Una. Una melihat siapa yang menelfonnya. Badannya menegak melihat siapa yang menelfonnya.

Hilda berhenti tertawa, "Kenapa?" Tanyanya penasaran, melihat perubahan ekspresi wajah Una.

Cici juga ikut berhenti tertawa, "Ada apa, Na?" Tanyanya

Una terdiam. Ia ragu untuk menelfon kembali atau mengabaikannya.

Una menatap kedua sahabatnya, "Papa gue telfon." Lirihnya pedih.

Bahu Cici dan Hilda terasa merosot, "Terus mau lo apain?" Tanya Hilda

"Telfon balik aja, Na." Suruh Cici, walau ia tahu, pasti berat bagi Una.

Una mengerucutkan bibirnya, lalu meletakkan ponselnya dengan malas, "Nanti aja." Singkat Una

"Eh, betewe, guru kita mana nih?" Tanya Una mengalihkan pembicaraan

"Pak Wandi kagak masuk, bininya berojol." Sahut Miko dari sebelah barat Una duduk

Una menoleh sembilan puluh derajat, "Sejak kapan Pak Wandi punya istri?" Tanya Una bego

Miko membelalakkan matanya, "Dah lama, njir!" Umpat Miko

Una mengangguk, "Jadi gue istri kedua dong?" Gumam Una

"Astagfirullah, Una! Lu sadar napa! Mending noh lu perjuangin Arka daripada malah ngarepin Pak Wandi!" Omel Hilda

"Yee! Ngapain malah lari ke Arka?" Sewot Una

Cici bergerak ke bangku Una yang kosong, lalu duduk di sana, "Gue saranin, lo bantuin Arka. Kalo rejeki, lo bakal dapetin hatinya dia."

Una menjitak kepala Cici, "terus kalo bukan rejeki, malah gue yang sakit hati."

"Ya, siapa suruh lo malah isengin tuh orang." Ucap Hilda

"Aelah, gue lagi gabut, niat gue cuma prank. Eh, malah berantem tuh dua orang."

"Salah elu, bego!" Ucap Cici

Miko noleh ke gue dengan tatapan puppy eyes.

"Ngapain lo?!" Sewot Una

"Internetnya kok gak lancar?" Tanya Miko

"Paket internet gua abis, Anjir!" Umpat gue, "udah sana, pergi lo. Hotspot mulu!"

"Etdah, bangku gue sini, ngapain lo ngusir." Umpan Miko

"Lo jangan bikin gue naik darah!"

"Yah, turunin aja kalo naik, gitu aja repot!"

"Anjing lo!" Umpat Una

"Eh udah-udah! Lo berdua kapan akurnya sih?!" Lerai Cici

"Kalo Una kasih gue hotspot!"

"Kalo Miko berhenti hotspot!"

Jawaban mereka berbarengan, namun bertolak belakang.

"Duh, gue kawinin kalian lama-lama." Ucap Hilda

....

Una memberhentikan motornya di sebuah toko buku. Ia sudah menabung beberapa hari untuk ini.

Una memilih novel yang ia inginkan. Lalu ke kasir untuk membayar.

Setelah selesai, Una keluar dan melihat seseoranh dekat motornya. Ia dengan tampangnya mampu membuat semua cewek terpikat karena ketampananya, termasuk Una.

Tapi, Una sadar, kalau cowok ini, menginginkan pertanggung jawaban darinya. Una menghela napas berat.

"Minggir lo!" Ucap Una tak ramah.

"Lo harus tanggung jawab dulu!" Arka bersikeras

Una melototi Arka dengan tatapan garang, "Usaha sendirilah!"

"Yah, pacar gue mana percaya kalo gue cuma ngomong doang. Lo yang bikin gue putus sama pacar gue, jadi lo harus bikin gue balikan sama pacar gue." Ucap Arka

Una menggelengkan kepalanya, "Udah putuskan?"

Arka mengangguk dengan senyuman, "Jadi lo harus bikin gue–"

"Cari yang baru aja." Potong Una cepat

Senyum Arka lenyap, "Gak bisa!"

Una mendorong Arka untuk menyingkir dari motornya, "Minggir, gue mau pulang."

Arka menyingkir, "Bantuin gue!"

Una naik ke motornya, menoleh pada Arka, "Nanti gue hubungin, lo."

Senyum Arka merekah, "Lo mau tanggung jawab?"

"Iya." Jawab Una

"Oke, Siap!" Arka sepertinya sangat bahagia.

Una menyalakan mesin motornya.

"Luna! Makasih!"

Una terbelalak, ia mematikan mesin motornya, lalu menoleh, "Gue bukan luna! Gue bukan bencong!"

Arka mengerutkan pelipisnya, "maksudnya?"

"Gue U N A! UNA! Luna dari mana? Lu kira gue LL apa?!" Sewot Una lalu segera menyalakan motornya dan pergi dari hadapan Arka.

"Una?" Beo Arka


...
See you :*

You Call Me Crazy??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang