Bag 1; Kala Itu

2.7K 253 27
                                    

Luna gadis blasteran Indonesia-Jepang, Papa-nya asli Jepang dan Mama-nya asli Indonesia tepatnya Yogyakarta. Gadis duapuluh tahun itu duduk di bangku kuliah semester empat, awalnya Papa Luna meminta gadis itu untuk mengemban ilmu di negeri Sakura saja akan tetapi Luna menolak keras dengan alasan hidup di Indonesia lebih menyenangkan ketimbang hidup di negara yang sekian persen orangnya sibuk dengan hiruk pikuk kehidupannya sendiri.

Luna suka bersosialisasi itu sebabnya gadis itu ramah. Meski banyak yang menatap dirinya tajam hanya karena gadis itu keturunan Jepang. Memiliki kulit lebih putih dibandingkan orang-orang Jogja pada umumnya, mata bulat, hidung bangir, dan bibir merah penuh. Hanya satu dari bagian tubuhnya yang membuatnya sama dengan orang-orang indonesia pada umumnya yaitu matanya yang belok.

Wajahnya cantik memang, hanya saja terkadang hal itu jadi menyulitkan. Orang-orang sering menjatuhkan ekspektasi terlalu besar padanya misal; cantik-cantik bego atau jika ada acara kontes-kontes kecantikan di kampus gadis itu yang akan di ajukan mewakili kelasnya, padahal Luna tidak memiliki bakat untuk modeling. Ekspektasi seperti itu hanya sebagian kecilnya saja. Yang membuat Luna semakin sedih adalah, ketika dirinya dijadikan gunjingan orang-orang yang belum mampu berfikir secara terbuka; Jepang pernah menjajah Indonesia yang berarti Luna adalah penjajah.

"Ci, detergen satu ya". Mama tersenyum sembari mengulurkan sebuah detergen, tahu kenapa dipanggil 'Ci?' Ini mirip seperti orang-orang keturuan Tionghoa yang membuka toko kelontong di Indonesia. Begitulah gambaran kehidupan sehari-hari Luna. Meski Papa-nya memiliki pekerjaan tetap di Jepang, tapi Mama-nya membuka toko kelontong kecil-kecilan untuk mengisi hari.

"Luna udah mau berangkat?". Luna menatap Mama-nya sekilas sebelum tersenyum manis, tersenyum juga pada si pembeli detergen.

"Iya Mama, Luna berangkat dulu". Luna mencium punggung tangan Mama-nya sebelum melangkah menuju keseberang, letak kampusnya ada di seberang rumahnya kalau boleh memberi tahu.

Gadis yang mengenakan jeans panjang dan kemeja biru laut itu melangkah masuk kedalam gerbang kampus. Sudah biasa mendengar sayup-sayup siulan juga bisikan dari mahasiswa kampus. Bukannya mau berniat sombong, hanya saja ia kerap dilabrak senior karena dianggap ganjen pada cowok-cowok kampus. Padahal faktanya Luna selalu diam dan tidak menanggapi gombalan maupun godaan dari cowok-cowok itu. Sering sekali gadis itu sengaja mengenakan masker agar wajahnya tidak terlihat, tapi karena takut disangka penyakitan Luna menghentikan kebiasaan tersebut.

"Ci, warung udah buka?". Teriak Jimi dari arah kantin kampus, disana ada beberapa cowok kampus yang sedang nongkrong. Merokok, makan Soto, atau hanya sekedar menggoda cewek kampus yang lewat.

"Udah". Jawab gadis itu singkat dan langsung berlalu, malas melihat mata jelalatan dari cowok-cowok yang ada di sana.

"Cantik-Cantik sombong!". Teriak Tama sambil cengengesan.

"Gimana gak kabur si Cici kalau mata kalian semua pada jelalatan". Ucap Jimi sambil meraup wajah Tama dengan gemas.

"Ya normal bego, bening kayak gitu kan jadi mikir yang iya-iya". Celetuk Jooni si cowok kampus berotak mesum. Salah satu hal yang membuat Luna merasa menjadi cantik tidaklah semenyenangkan itu adalah ketika pikiran kotor cowok-cowok seperti Jooni yang tidak bisa ia hindari.

"Jek, gak mau gebet Luna? Jomblo tuh". Jimi merangkul bahu Jeka, pemuda tampan yang dua tahun betah menjomblo karena trauma dalam percintaan.

"Gak! Cantik itu luka!". Jawabnya singkat, lugas, dan tegas. Iya cantik itu luka kalau bagi Jeka. Gadis berwajah jelita tidak mencerminkan kebaikan hati kok. Sudah berkali-kali dirinya gagal dalam menjalin hubungan percintaan hanya karena ketidaksetiaan si pasangan. Sudah jelas semua mantan Jeka berwajah cantik, ia lelaki normal sama seperti pemuda-pemuda pada umumnya yang melihat fisik gadis terlebih dahulu sebelum mendekati.

Yeppeun (JJK-JEB)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang