Bag 7; Distance

1K 197 7
                                    

Luna marah sekali, kecewa sudah pasti. Ia merasa tidak terima Jeka mengatainya cewek brengsek. Dirinya tidak merasa melakukan suatu kesalahan. Kalau memang Jeka marah karena dirinya pergi bersama Angga, apakah tidak bisa dibicarakan dengan baik-baik? Toh Luna pasti nanti akan dengan senang hati menjelaskan pada Jeka. Benar apa kata Rosi, sulit memahami pola pikir Jeka. Pemuda itu terlalu emosional, Jeka itu api dan Luna tidak yakin bisa menjadi air-nya.

Setetes air mata mengalir begitu saja di pelupuk matanya. Baru kali ini Luna melihat kekerasan secara langsung. Juga baru kali ini dirinya dibentak seperti itu. Luna tidak akan meminta maaf lebih dulu, coba lihat seberapa besar Jeka akan bertahan dengan egonya. Jika benar pemuda itu menyukai dan menginginkan dirinya menjadi pengganti Rosi, sudah pasti Jeka akan menurunkan sedikit egonya untuk meminta maaf mungkin. Dan Luna lebih memilih tidur.

Ditempat lain Jeka terlihat kalap, pemuda itu sudah menghisap lima batang rokok tanpa henti. Matanya bahkan merah nyalang, dirinya marah. Sangat marah! Ia benci diremehkan seperti itu, terlebih benci ketika Luna membela dan menyentuh cowok lain di depan matanya.

"Arghhhh! Anjing! Bangsat!".

Buagh!!!!

Lagi, tembok markas geng-nya menjadi korban kekerasan Jeka. Pemuda itu bahkan tidak peduli jika punggung tangannya bercucuran darah. Bahkan merasakan sakit pun tidak. Terkadang kawan-kawan Jeka sering meragukan kondisi mental pemuda itu, untuk itu Jeka butuh seseorang yang bisa memahami keadaan mentalnya. Luna agaknya cocok karena gadis itu mahasiswi jurusan Psikologi. Untuk saat ini, Jimi memang yang paling pantas menjadi air untuk Jeka. Hanya pemuda itu yang bisa meredam emosi Jeka seperti saat ini.

"Jek, jangan terlalu dibawa emosi lah. Cici pergi sama cowok itu cuma sebatas kerja kelompok percaya sama aku Jek". Jimi mencoba mengajak Jeka untuk berbicara. Yang lain hanya diam menyimak keduanya.

"Gue gak suka dia dipegang cowok lain, apalagi tadi gue liat dia pegang cowok itu!". Jeka kembali tersulut emosi, satu batang rokok kembali bersarang di ujung bibir pemuda itu. Kemeja yang ia kenakan sudah ia lepas sedari tadi menyisakan bagian atas tubuhnya yang terbuka.

"Kasih kepercayaan sama Cici, aku tahu cici orang seperti apa. Kalau kamu kayak gini jangan nyesel kalau cici ngejauhin kamu". Jeka menendang kursi yang ada dihadapannya dengan kasar bahkan sampai hancur. Semuanya hanya mampu meneguk ludah kasar, masih mending Angga hanya di bogem belum di patahkan tulang-tulangnya. Jeka emosi itu menakutkan, bahkan Jimi sempat ngeri kalau suatu saat nanti Jeka memiliki seorang istri.

"Gue cabut!". Pemuda itu memakai kemejanya asal sebelum memilih untuk pergi dari sana.

"Susah ngomong sama dia Jim, ego-nya terlalu tinggi. Cara satu-satunya bicara sama Cici, nunggu Jeka minta maaf duluan itu gak mungkin". Komentar Jino sembari mengutak-atik ponselnya.

"Anjir emang si Jeka, yang ada masalah dia aku juga yang repot". Jimi merogoh kantung jaketnya mengambil sebatang rokok untuk di sulut. Biarpun sebal luar biasa dengan Jeka, tapi Jimi tidak bisa untuk tidak peduli dengan Jeka.

Jeka akhirnya pergi ke bengkel, mungkin dengan mengutak-atik mesin motor bisa membuat pikirannya tenang. Membuka kemejanya seperti biasa mulai memegang obeng dan kunci-kunci yang lain untuk memperbaiki motor. Jeka lebih banyak diam bahkan matanya hanya fokus pada kendaraan yang sedang ia perbaiki. Terlihat wajah pemuda itu yang tidak bersahabat membuat pegawai lain enggan menyapa pemuda itu.

Jeka mengusap pelipisnya sekilas tangannya sudah kotor terkena oli. Secara reflek matanya menatap toko di seberang, toko Luna. Entahlah Jeka bingung, satu sisi ia marah dan kecewa pada Luna tapi di satu sisi juga ia tidak ingin kehilangan gadis itu. Entah memang kebetulan atau bagaimana, mendadak Luna keluar dari toko hendak membuang sampah.

Yeppeun (JJK-JEB)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang