04 : Pramuka

139 31 6
                                    

Kilas balik saja sebentar, salah satu alasan kenapa aku mengagumi Kak Jungwoo adalah karena acara rutinan sekolah dengan tema Pramuka yang diadakan beberapa bulan ke belakang.

Di awal-awal masuk SMA, kami para kelas satu diwajibkan mengikuti pelantikan. Katanya sih acaranya tidak semenegangkan MOS, tapi aku curiga karena apalagi pelantikan ini diharuskan setiap siswanya menginap.

Aku pribadi cukup khawatir dengan kegiatan ini, kenapa?

Alasannya karena kelas Bahasa hanya memiliki kelas tunggal, berbeda dengan IPA dan IPS. Apalagi kelas Bahasa didominasi perempuan. Masalah kekompakkan mungkin kami bisa mengatasinya, tapi untuk urusan lain-lain sulit sekali untuk dilakukan.

Misalkan, materi yang mengharuskan kami bekerja di lapangan. Membuat ini itu yang seharusnya dikerjakan anak laki-laki karena tenaga yang mereka miliki. Akibat kurang sempurnanya hasil dari pengerjaan, kelas kami selalu mendapatkan sorotan yang kurang mengenakkan.

Hari itu, aku baru tahu bahwa panitia pengawas kami adalah Kak Jungwoo yang sama-sama dari anak Bahasa. Bersama satu orang dari anak OSIS bernama Cheng Xiao.

Setelah melakukan banyak kegiatan, kami diharuskan masuk ke dalam kelas selagi panitia lain menyiapkan api unggun di lapangan. Tentunya kami ditempatkan di kelas sekitaran lapangan utama, para panitia tidak senekat itu membiarkan kami tidur di kelas sendiri yang letaknya bersebelahan dengan hutan.

Berikutnya atmosfer berubah menjadi sedikit panas, semua temanku kompak mengeluh dan marah karena acara pelantikan tersebut. Salah satunya adalah karena panitia lain tega sekali menempatkan kami di kelas yang lampunya tak menyala, mengharuskan Kak Jungwoo pergi ke warung dan membeli lilin untuk penerangan.

Kenapa lilin? Kenapa tidak pindah kelas saja?

Memang dasarnya saja panitia lain tidak ada yang mau mengurusi kami, berdalih sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Hilih!

Di antara penerangan yang seadanya, kami berkumpul secara melingkar di kelas. Duduk berdekatan dengan alas karpet karena ruangan sudah diatur sedemikian rupa untuk beristirahat. Begitu pintu kelas ditutup, semua temanku mengeluh dan meluapkan kekesalan yang sejak siang terpendam di dalam dada.

Tentang pandangan kelas atau panitia lain.

Tentang perlakuan para panitia terhadap kami.

Atau acara yang terlalu sulit jika dilakukan oleh kelas Bahasa yang notabenenya banyak perempuan mana jumlahnya paling sedikit dari kelas lain.

Saat itu aku ikut mengeluh, karena aku siswi normal yang akan bersuara jika diperlakukan seenaknya. Tapi kehadiran Kak Jungwoo ternyata bukan tanpa alasan. Begitu kami selesai berbicara, dia mengatakan apa yang membuatnya mau menjadi pengawas di kelas Bahasa.

“Kakak juga sering dapet perlakuan gitu, emang udah nasibnya aja anak Bahasa selalu kurang beruntung. Meskipun di kelas Kakak jumlah cowoknya mendingan dari kalian hehehe,” katanya sempat bercanda, “tapi Kakak di sini memang sengaja mengajukan diri buat jadi pengawas kalian.”

Why?” tanya Mark bersandar di dinding dengan raut yang lelah. Kasihan, capek meng-handle dan memikul beban kelas selama acara berlangsung.

“Karena emang pada enggak mau juga sih merekanya (para panitia). Iya ‘kan?” tanya Kak Jungwoo menyenggol Kak Xiao yang langsung melotot, memberi kode kalau sepertinya Kak Jungwoo tak perlu menjelaskan itu.

“Jungwoo, ih!”

“Serius?!” pekikku terpancing, Kak Jungwoo terkekeh sambil mengangguk miris, “Gila kali, ya?! Anak tiri banget ini mah!”

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang