Tempat Berlindung

5.5K 641 158
                                    

Pemuda itu melangkah perlahan ke dalam rumah besar tersebut, matanya menatap ke sekeliling ruangan, ia berhenti sejenak, hingga sebuah rangkulan di bahunya mencoba memberi kekuatan.

"Masuklah, tidak apa-apa." Pemuda berseragam polisi itu mengangguk pelan mencoba meyakinkan pemuda berwajah sedih di sampingnya.

Langkah kakinya bergetar tiap kali menginjak anak tangga, tangan kirinya memegang erat besi pembatas, sedang tangan kanannya menggenggam lengan polisi muda di sampingnya. Polisi itu membuka sebuah pintu kamar yang berada tepat di sebelah kamar pribadinya. Ia mempersilahkan pemuda kurus itu masuk ke dalam.

"Silahkan, ini akan jadi kamarmu sementara."
Pemuda itu menoleh ke arah polisi tampan itu, ragu untuk masuk.

Polisi itu mengerti, jika pemuda ini masih takut akan hal-hal baru, jadi ia membimbing pemuda kurus itu ke kamar. Menghidupkan lampu dan menyuruh pemuda lain yang terlihat sayu itu untuk beristirahat.

Rumah ini tidak begitu luas, namun perabotan di dalamnya terkesan mewah dengan pilihan gaya minimalis. Ada 4 kamar di dalamnya, 2 kamar utama, 1 kamar tamu, dan 1 kamar pembantu. Pemuda cantik itu tidur di kamar tamu yang letaknya bersebelahan di kamar utama yang berada di lantai 2. Di lantai 1 ada ruang tamu, ruang keluarga, dapur dan kolam renang.

Kamar pembantu berada di dekat garasi dan gudang. Sedang kamar utama berada di sebelah ruang keluarga. Ada pula perpustakaan pribadi dan ruang penyimpanan di lantai dua.

Di ruangan bawah tanah terdapat tong besar yang terbuat dari kayu ek  penyimpanan anggur.

Rumah ini terlalu wah, untuk ukuran polisi setingkat kapten. Sepertinya latar belakang polisi ini cukup kaya dan terpandang.

.
.

Pemuda cantik berwajah sendu itu menekuk lututnya di sudut tempat tidur. Kilasan memori saat suara letusan peluru memecah keheningan malam membuatnya semakin ketakutan.

Bibirnya merapalkan sesuatu dengan tempo berulang. Wajahnya pucat dengan aura kelam, bagai manusia yang telah bertemu dengan malaikat mautnya.

Polisi bertubuh tegap yang baru selesai mandi mendengar suara aneh dari kamar Zhan, yang berada di sebelah kamarnya. Ia bergegas menghampiri pemuda lemah itu, hingga lupa mengganti handuknya dengan pakaian di lemari.

"Apa yang terjadi?"

Zhan langsung menyembunyikan diri, ia takut dengan keberadaan orang asing. Polisi tampan itu pun hanya bisa berdiri di sisi ranjang. Ia mengambil selimut, menggunakan kain tebal halus itu, untuk menutupi tubuh si kurus yang meringkuk.

"Tak apa, jangan takut aku ada di sini ..."

Polisi muda itu menutup tirai jendela, lalu berjalan ke sudut ruangan, dimana terletak sebuah pemutar musik. Ia mengambil kaset lama di laci lalu memutarnya dengan volume sedang.

Alunan musik classic milik Mozart 'moonlight sonata'. Mengalun mengisi kekosongan udara, memantul di dinding putih, berakhir di telinga pemuda kurus yang terhenyak.

Ia mengingat setiap nada dari musik yang sedang dimainkan, ia merasa dulu sering mendengar lagu ini. Tapi ia lupa, dimana dan kapan Mozart dan symphoninya mulai ia kenal.

Ia hanya mengingat hal-hal yang sifatnya tutorial. Berlibur dengan Chao Yu Chen, merayakan ulang tahun dengannya, dan terakhir kencan maut yang berujung pada kematian kekasihnya.

Tak ada kilasan memori yang menyentuh perasaannya. Atau menghangatkan hatinya. Semua yang tertanam di otak Xiao Zhan adalah putaran kejadian seperti film dokumenter.

Xiao Zhan menangis dalam diam, bukan air mata melainkan sebuah luka. Atau sesuatu yang berlubang, kosong di hatinya. Ada hal yang tak bisa ia jangkau dengan otak kecilnya. Seperti gundukan yang terkubur sedalam ratusan meter di dasar kenangan. Ia lemah untuk mengingat itu semua. Ya ia tahu, bahwa symphoni milik Mozart, memiliki tempat tersendiri di hatinya.

PayBack(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang