ー 55

2.2K 435 43
                                    

Aku terbangun saat mendengar suara gaduh dari ruang karyawan. Agak panik, kukira Jeffrey dan Will bertengkar lagi, tapi ternyata tidak —Donghyuck keluar dari ruang karyawan sambil memegangi kepalanya.

"Hyuck," panggilku seraya melemparkan selimut yang membungkus sebagian badanku lalu segera menghampiri Donghyuck dan membantunya duduk di kursi terdekat.

"Makasih Kak," katanya sambil membuka-pejamkan matanya. "Kepalaku pusing banget."

"Tunggu bentar, aku ambilin air."

Setelah memastikan Donghyuck akan baik-baik saja selama kutinggal, aku segera bergegas menuju dapur dan mengambilkannya segelas air. Sebelumnya aku wastafel dulu untuk membasuh wajahku. Dan saat itu juga aku melihat ada bekas goresan tinta di punggung tanganku.

"Gotta go, gonna look for the best way to end everything. Stay safe, don't forget to eat 3 times a day and drink much water. Be strong, don't get sick or I'll kiss you. I love you ♡ (Jeff)"

Aku tertegun membacanya. Jadi dia benar-benar pergi? Semalam benar-benar yang terakhir?

Oh my god...

Aku segera membasuh kembali wajahku. Aku menghirup udara dengan kasar, sebisa mungkin menyembunyikan kecengenganku. Jeffrey benar, aku harus kuat. Kalau dia berjuang, maka aku juga sama.

Let's end everything.

Setelah memastikan bekas tulisan Jeffrey di punggung tanganku hilang, aku kembali ke Donghyuck, memberinya segelas air lalu ikut duduk di sampingnya.

"Makasih," katanya lagi setelah menghabiskan segelas air yang kuambilkan.

Aku menyentuh dahi Donghyuck dengan telapak tanganku. Masih panas.

"Kamu yakin gak mau ke rumah sakit?" tanyaku. Jujur, aku takut terjadi apa-apa padanya.

Donghyuck mengangguk. "Gak papa, cuma butuh terbiasa —aku semalem udah ngobrol sama Om Hawk."

Om Hawk? Om?

Apa hanya aku yang merasa lucu dengan nama itu? Tapi dibandingkan meledek Donghyuck, aku lebih memilih untuk menelan tawaku dan kembali menatapnya penuh perhatian.

"Jadi kamu udah tau kalo selama ini kamu ada yang ngikutin?" tanyaku.

Donghyuck mengangguk. "Iya tau. Aku juga akhirnya tau darimana datangnya ingatan-ingatan aneh yang selama ini aku kira cuma mimpi," ujarnya.

"Hm? —ah, begitu?" Aku mengangguk paham. Benar juga, walaupun terkadang Hawk mengambil alih tubuh Donghyuck, tapi secara teknis Donghyuck masih aktif —dia masih melakukan aktivitas seperti melihat, mendengar dan mencium bau walaupun kesadarannya berada di titik nol. Otaknya merekam semua yang terjadi saat Hawk mengambil alih tubuhnya dan semua itu disimpan di dalam memori.

Donghyuck mengangguk. "Bahkan Kak Doyoung, aku kira aku mimpi pernah ketemu sama dia dulu, ternyata emang enggak. Lucu tau, dia kecilnya kelihatan polos banget —padahal sekarang galaknya nembus cakrawala."

Aku terkekeh. Dasar, mengaku sakit tapi masih sempatnya bercanda.

"Eh, tapi —kamu bilang apa? Doyoung kecil?"

Donghyuck memandangku lama, lalu mengangguk. "Iya, aku gak tau gimana jelasnya, tapi aku inget Om Hawk ngebawa pulang Kak Doyoung —pake badanku."

"Maksudnya?" Aku mengernyit tidak mengerti, tapi Donghyuck kembali memegangi kepalanya. Ringisan kesakitan muncul di bibirnya, bahkan matanya terpejam rapat menahan sakit.

"Ke rumah sakit aja deh, yuk?" ajakku.

"Aku takut ketemu sama Kak Kimi, tar dimarahin mukaku kayak gini," tolak Donghyuck.

[3] Full Moon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang