ー 34

2.5K 571 195
                                    

aku kaget sama respon kalian di chapter sebelumnya, wkwk
ku kira jeffrey udah terlupakan
tapi ternyata rame banget, jadi terharu :v
anw, do you want jeffrey or doyoung to come back?
●●

"Jeff —"

Badanku terasa seperti terbanting saat aku membuka mata. Nafasku pun tersengal.

"Ngigo."

Aku menoleh, mendapati Om Henry yang kemudian menyentuh dahiku.

"Jeffrey terus, kangen?" ledek Om Henry.

"Om —" Aku terburu-buru bangun. "Jeffrey —"

"Iya-iya, aku tau," potong Om Henry. "Tapi Jeffrey udah meninggal, gak mungkin dia disini," potong Om Henry.

"Tapi —tadi aku —"
Pundakku melemas. Jadi tadi itu —?

Aku menunduk, menatap kedua telapak tanganku yang terbuka di atas paha. Tadi itu terasa nyata. Aku bahkan merasakan nafasnya di ceruk leherku.

"Udah deh, jangan ngaco," kata Om Henry. "Lain kali kalo jalan-jalan di pantai jangan lepas alas kaki, oke? Bisa-bisanya gak sadar nginjek bulu babi."

Om Henry melirik kakiku, membuatku mengalihkan pandang ke sudut yang sama. Kakiku dibalut kasa tipis, menandakan kalau Om Henry baru saja melakukan perawatan luka.

Aku tidak menyahuti. Pening di kepalaku akibat bangun gara-gara terkejut dan perasaan mengambang membuatku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun lagi. Pikiranku terus melayang pada Jeffrey, begitupun dengan pertanyaan ini:

Jadi tadi itu tidak nyata?

"Tapi Jungwoo kemana?" tanya Om Henry memecah pikiranku. "Kata Mark kamu pergi sama Jungwoo, tapi kok pulangnya sendirian?"

"Aku pulang sendirian?" tanyaku bingung.

"Iya, udah gitu pingsan di depan pintu —"

"Om!"

"Apa???"

Aku menelan ludahku kasar, menatap Om Henry yang juga menatapku kebingungan.

"Aku.. pulang sendirian? Pingsan?" tanyaku memastikan.

Om Henry mengangguk.

"Om, tapi bahkan aku gak inget kapan aku pulang," kataku. Ya, kalau dipikir-pikir, hal terakhir yang kuingat adalah saat aku membalas pelukan Jeffrey.

Setelah itu semua menghilang. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, dan yang ku tahu setelahnya adalah aku berada di sini, di ruang tengah cottage dimana aku dan orang-orang menginap.

"Maksudnya gimana?" tanya Om Henry.

Aku menelan ludahku kasar lalu menggeleng. To be honest, aku pun bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana bisa aku pulang sendirian —pingsan di depan pintu?

"Ini apa?" tanya Om Henry. Tangannya menyentuh leherku, membuatku memekik karena geli.

"Loh, kok gak bisa ilang?"

"Hah? Apanya?"

Om Henry beranjak tergesa-gesa lalu kembali sambil membawa cermin. Dia menghadapkan cermin itu ke leherku, dan dari sana aku tahu kalau ada yang aneh.

Apa ini?

Aku menyentuh leherku dekat pundak. Ada bekas aneh disana —ah, bukan bekas. Lebih seperti warna kulitku berubah menghitam —why?

"Om —" Aku menatap Om Henry panik, begitupun Om Henry. Menitik kalau om Henry sudah berkecimpung di dunia kedokteran lebih dari 15 tahun, tapi sepertinya dia juga tidak tahu.

[3] Full Moon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang