extra: Rosé & Brian

2K 349 17
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



















Sepanjang hari, yang dilakukan Brian hanya duduk di atas buffet kecil ruangan sempit itu sambil memandangi gadis yang duduk di kursi depannya.

Rosé.

Sejak pengadilan memutuskan apa hukuman yang akan diterima, sejak itu pula sedikit demi sedikit dia merasakan bagaimana menjadi narapidana dengan kejahatan level S.

Wow.

Kadang Rosé merasa hebat dapat mencapai level itu, tapi terkadang nelangsa yang dia rasakan tidak bisa digambarkan.

Matanya ditutup oleh kain hitam, tangannya diborgol di belakang kursi yang sekarang dia duduki. Jangankan kabur, untuk menggaruk kulit yang gatal saja sulit —bahkan dia pernah menangis hanya karena tidak tahan gigitan nyamuk.

Lebih dari itu, letak selnya berada di lorong paling ujung, paling pengap. Terkadang kesadarannya timbul-hilang, sulit mengendalikan diri sendiri.

Semua itu karena pertimbangan bahwa dia adalah mind controller. Sebisa mungkin dia harus dijauhkan dari siapapun. Jangan sampai dia terjamah, jangan sampai dia kabur.

"Ros, sekarang kamu pingsan apa nggak? Atau malah mati?" tanya Brian pada akhirnya.

Rosé berdecak. Brian tertawa kecil.

"Kamu diem terus, sih. Kirain mati," ujar Brian lagi.

"Shut the fuck up," dengus Rosé.

Brian menghela nafas. "Kangen jalan-jalan di luar..."

"Sana keluar."

"Tar kamu sendirian, dong."

"Kan yang ditahan aku, bukan kamu. Kamu mau pergi yang jauh sekalian gak usah balik juga gak papa."

Brian tertawa sarkastik. "Padahal kalo diganggu sama hantu jelek juga larinya ke aku."

"Kamu satu-satunya yang jelek di sini."

Brian berjengit. "Enak aja! Kemarin aku baru dilamar sama hantu bangsawan Belanda, ya!"

Rosé mencibir. Kemudian tawa kecil lepas dari bibirnya.

Selalu begitu. Bahkan sejak pertama kali Brian mengikat kontrak dengan Rosé, love and hate relationship itu sudah tercipta. Tapi justru itu yang membuat mereka dekat satu sama lain. Percaya atau tidak, Brian mengenali Rosé lebih baik daripada wanita itu mengenali dirinya sendiri.

Kadang Brian merasa seperti ayah yang harus memberi kasih sayang pada putrinya. Kadang dia harus berperan sebagai seorang kakak yang dituntut mengalah pada adiknya. Terkadang dia menjadi teman yang harus selalu ada saat Rosé membutuhkan. Dan terkadang... rasanya ingin menjadi seorang pria di matanya.

Andaikan Brian itu manusia, andaikan dia masih hidup di jaman ini...

Entahlah.

Brian berniat membenturka kepalanya sendiri ke dinding agar tersadar, akan tetapi dia malah terjungkal menembusnya begitu saja.

"Woah!"

"Bri?" panggil Rosé panik saat tiba-tiba mendengar Brian memekik.

"Aku jatuh," ujar Brian sambil menembus dinding masuk lagi ke sel Rosé.

"Ngapain, sih?"

Brian cengengesan. Untung Rosé tidak melihatnya.

Beberapa saat mereka berdua saling diam, sampai akhirnya Rosé bicara lagi.

"Tapi aku tadi serius, Bri."

"Hah? Serius apa?" tanya Brian.

"Kamu.. pergi aja."

"Kemana."

"Kemana aja."

"Kenapa? Kamu pengen sesuatu?"

Rosé mengangguk. "Aku pengen kamu bebas."

Brian mengernyit.

"Udah cukup, kita akhiri kontrak kita disini," lanjut Rosé.

"Kenapa?"

"Karena.." Rosé menggantung kalimatnya, nampaknya sulit untuk memberi alasan. Akan tetatpi pada akhirnya dia melanjutkan, "Emang apa yang kamu harapkan dari tuan yang udah gak punya kuasa kayak aku?"

Tidak ada sahutan dari Brian, membuat Rosé tertawa pahit.

"Kontrak kita berakhir kalo aku mati, kan? Tapi kayaknya sekarang pun gak ada bedanya. Aku gak bisa apa-apa, bukannya itu sama aja aku udah mati?"

"Beda," sahut Brian.

"Apa? Bahkan sekarang aku gak bisa ngasih tugas apa-apa ke kamu. Terus apa gunanya kamu masih ikut aku?"

"Karena kamu rumahku," jawab Brian cepat, membuat Rosé berjengit bingung.

"Kalo kamu gak bisa ngasih aku perintah, maka diem aja. Jadi rumahku," ujar Brian lagi.

Rosé masih belum mengerti.

"Ros, aku bertahan sama kamu bukan cuma karena perintah," ujar Brian kemudian. "Tapi karena kamu adalah rumahku."

"Cringe." Rosé bergidik, tampaknya menganggap omongan Brian barusan sebagai sebuah lelucon.

"Ya, it's cringe but I'm 1000% serious right now," timpal Brian.

"Bri—"

"Ros, jangan maksa," sela Brian. "Mulai sekarang semuanya bakal terasa lebih berat dan lebih berat. Jadi jangan sok kuat."

Rosé melepas senyum sarkas. "Bacot ya kamu, Bri."

"It's me, anyway." Brian ikut tertawa.

Tapi percayalah, di balik masing-masing tawa mereka tersimpan sesal.

Antara Rosé yang gagal meyakinkan Brian untuk pergi, dan Brian yang bersikukuh tinggal walaupun mereka akan selalu berakhir dalam kemustahilan.












"Be free —I set you free."

"I won't go anywhere because you're my home."








○ full moon ○

[3] Full Moon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang