Pintu sebuah kafe bergaya klasik terbuka hingga menimbulkan suara deritan. Seorang cowok berkaos putih dengan balutan kemeja biru gelap melangkah masuk. Retinanya menyipit, memperhatikan sekeliling ruangan. Sahabat-sahabatnya tampak di sudut outdoor sana.
Dia Alanzo Galaksa, pemimpin geng turun-temurun di SMA Jagakarsa. Humoris, loyal dan senang bergaul dengan siapa saja membuatnya diam-diam dikagumi oleh siswi sekolah tersebut. Bukan memiliki banyak gadis dalam satu waktu, tetapi dia terkenal gampang mendapat pasangan setelah putus.
Kaki jenjang Alan berhenti ketika sampai di tempat sahabatnya singgah. Duduk pada kursi kosong kemudian menangkap lemparan rokok dari Rangga Tamara, si pemarah nan banyak gaya. Namun, paling bisa menjadi andalan. Alan segera memantik dengan korek yang tergeletak di meja lalu mengepulkan asapnya ke udara.
"Thanks," ujar Alan dibalas acungan ibu jari oleh Rangga.
Cowok bertindik telinga dengan celana jeans sobek menghampiri keduanya. "Gue udah izin sama orang-orang yang bikin coretan itu juga pemilik kafe."
Perkataan Lintang Birgantara mendapat anggukan dari Alan. Cowok berkaos hitam itu berbeda dengan yang lain. Tidak pernah mencicipi rokok ataupun minuman keras. Bila berkumpul di club hanya menikmati hiruk-pikuk saja. Sekedar melepas penat dan menghargai kegemaran sahabat-sahabatnya. Dia juga terkenal paling loyal.
Kedua orang yang semula sibuk merapikan kamera dan alat pencahayaan, kini mendekat. Ber-tos dengan Alan kemudian satu persatu mengambil soda kaleng pesanan tadi. Sebuah kernyitan tercetak di kening si cowok berjambul sedang.
"Kok lo pake itu?" tanyanya. De Barka Alexis menatap Alan penuh pertanyaan.
Bryan Orlando, cowok di sebelah Barka meletakkan kembali minumannya lalu berkata, "Menurut materi seni budaya, tindakan lo itu menghilangkan nilai estetika."
Alan terkekeh sembari geleng kepala. Memang, perjanjian awal sepakat mengenakan kaos hitam. Akan tetapi, dia menolak. Ada sesuatu yang menyebabkan cowok itu benci warna tersebut. "Gue udah bilang gak setuju. Berbeda juga keren. Lasgar gak mungkin jalan kalo ada peraturan wajib."
"Udah, gak usah dipermasalahin," timpal Rangga, "buruan, biar cepet kelar. Urusan kita bukan cuma ini."
Cowok itu terkadang menjadi penengah bila mereka mulai berselisih paham. Rangga pun masih dapat mengontrol emosi bila konflik kecil. Dia beranjak lalu menarik lengan Alan. Pemimpinnya tersebut bisa lebih tak terkendali.
Alan suka dengan pemilihan background dari mereka. Kaligrafi tembok hasil karya sekolah lain ditambah langit yang sedang berawan putih. Tempat itu biasanya dihuni oleh sekumpulan pecinta lukis, tetapi mereka tidak asal memakainya. Apalagi, ini sebagai sampul majalah Lasgar, menyangkut geng mereka.
Kelima cowok itu bersiap menunggu kode dari Alan. Lando berada paling belakang mengepulkan asap rokok, Tara di serong kanannya dengan gaya menyibakkan rambut, Barka duduk di sudut kiri membawa gitar, Rangga juga Alan yang baru menyusul tepat di tengah menyatukan kepalan tangan.
"Pindah tempat. Ke sini numpang foto doang, gak beli apa-apa. Soda sama rokok ini bawa dari luar, 'kan? Malu-maluin gue, lo pada," ajak Alan sembari terkekeh kecil.
Merasa salah karena datang terlambat, Alan merapikan kamera beserta alat lain. Toh, semua itu miliknya. Tidak ada barang sewaan. Rangga tiba-tiba membantu. Padahal, sudah disuruh untuk pulang bersama Tara, Lando dan Barka. Akan tetapi, tak masalah. Kegiatan itu bisa selesai dalam waktu singkat.
Pandangan Alan tak sengaja mendapati dua gadis yang dia lalui tengah berdiri saling tatap. Cowok itu menatap ke arah Rangga, sudah berjalan jauh. Tersadar, dua buah notebook mendarat di kakinya, Alan lantas mengambil.
"Catatan geografi," gumamnya. Alan pikir, ini milik mereka. Cowok itu menghampiri keduanya.
"Jatuh, gue tau lo berdua bakal rempong kalo barang ini hilang," ucap Alan, "gak usah berantem di tempat umum, caper."
Masih prolog, Guys. Maaf sempat ku-unpublish 😌 Jangan bosen-bosen, yah.
Cek lapak sebelah juga, satu yg lagi jalan juga.
Vote+komen jangan lupa
Happy reading ....
•
•
•See you di part 1
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanzo
Teen FictionBagi Alan, hidup itu seperti kado. Tampak luar biasa, tetapi isinya tak tentu seindah yang dibayangkan. Ketika sudah dibuka, ternyata mengejutkan. Ketentraman, mendapatkannya seolah begitu sulit. Bahkan, sedari kecil kata tersebut belum pernah dia...