Langkah panjang Alan juga keempat sahabatnya menyusuri koridor. Istirahat pertama begitu menggembirakan bagi mereka. Terlebih, hari ini pikiran siswa XII IPA 4 dikuras karena ulangan kimia. Soalnya tidak beranak, hanya sepuluh. Akan tetapi, jawabannya memakan hampir dua lembar buku besar.
Sebenarnya, lumayan mudah bagi Alan sebab cowok itu paling suka pelajaran tersebut dibandingkan matematika ataupun yang lain. Dia penasaran dengan dunia kesehatan, tetapi tidak tertarik pada biologi. Begitulah Alan, antara ingin dan kegemaran berbanding terbalik.
"Gue dapet kabar dari anak lo di kelas sebelas," ujar Rangga sembari merangkul pundak Alan. Membuka percakapan setelah sekian detik hening. "Katanya, salah satu DA ada yang punya masalah sama kelas sepuluh dan dia anggota Lasgar."
"Siapa? Masalahnya apa emang? Perlu kita turun tangan? DA yang mulai atau emang bocah itu bandel?" tanya Alan seraya memasukkan tangan pada saku celana. Bersikap tenang karena belum tau kejelasannya.
"Gak tau pasti, sih. Nanti, gue chat ke yang bilang, deh. Masalahnya, lo sendiri tau kalo urusan sama DA udah gak bisa ngelak. Bawa-bawa guru BK atau bisa aja kepsek. Mereka 'kan, dilindungi sama sekolah. Bahkan, lebih unggul dari OSIS," jawab Rangga.
"Kalo misal bocah itu bandel, ya, harusnya maklum, dong. Masih anak baru, 'kan? Wajarlah belum ngerti tata krama yang mereka buat sendiri di sini," sahut Barka.
Lando berjalan ke depan. Meraih bahu Alan yang sebelah. "Gue setuju sama Barka. Kenapa? Gue masih ada dendam ke mereka. Kejadian waktu itu gak bisa dilupain gitu aja. Iya, gak, Tar?"
"Iya." Tara yang semula paling belakang, kini berpindah mendahului sahabat-sahabatnya. Berjalan mundur. "Gue bakal tetep bela anak kelas sepuluh itu. Walaupun gak salah, DA tetep gak pernah bener di mata gue sama Lando."
"Udah, biar gue sama Rangga yang beresin. Lo berdua gak usah ikut campur. Timbul masalah baru yang ada." Alan melepas tangan Rangga dan Lando.
Decihan singkat terdengar dari cowok bertubuh paling tinggi di antara mereka itu. "Idih, lo sama Rangga? Bakal ada MMA dadakan jatuhnya. Kalo gue dan Tara 'kan, masih bisa adu bacot doang."
"Lo pada gak ngehargain gue banget, sih? Terus gue bagian diem aja, gitu? Gak asik, ah." Barka berceletuk.
"Ada," cetus Tara, "jadi kang video pas kita-kita berantem sama DA."
"Anjay," umpat Barka lalu menyelonong pergi.
Alan, Rangga, Lando dan Tara dibuat terkekeh. Barka memang seperti itu, tetapi tidak serius marah. Keempat sahabatnya sering memojokkan karena dia mudah kesal. Beruntung, tidak sepemarah ketua dan wakil Lasgar.
Mereka segera menyusul Barka sebelum bel ke-dua berbunyi. Namun, ketika melewati kelas IPS, Alan jadi berkeinginan memasuki salah satu ruangan yang saat itu sepi. Dia menyuruh sahabat-sahabatnya untuk ke kantin lebih dulu dan berpesan bahwa akan bergabung tak lama lagi.
Pintunya terbuka. Alan bergegas masuk. Terlihat seorang gadis berambut cokelat tergerai panjang tengah duduk di bangku paling belakang urutan meja guru. Tidak ada seorang pun di sini dan dia tampak fokus menatap layar ponsel dengan earphone di telinga.
"Lagi apa, Althea?" sapa Alan membalik kursi depan meja gadis itu hingga mereka dapat berhadap-hadapan.
Di Jagakarsa tidak ada yang duduk berpasangan sehingga tak heran bila Althea sedang sendiri saat ini.
Gadis tersebut cepat-cepat menyembunyikan ponsel. Melepas earphone tadi kemudian tersenyum menatap Alan. "Lagi nonton YouTube, lo ngapain ke sini?"
Alan sempat heran dengan Althea yang sepertinya terkejut. "E-enggak ada apa-apa, sih. Cuma tadi lewat aja. Udah dibaca pesan gue?"
"Udah, makasih. Bagus banget, loh. Sayang, ya, di sini gak ada ekskul pemotretan gitu. Kalo ada, pasti lo ikut. Iya, 'kan?" Althea terkikik kemudian merapikan buku-buku yang masih berserakan di atas meja. Memasukkannya dalam laci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanzo
Teen FictionBagi Alan, hidup itu seperti kado. Tampak luar biasa, tetapi isinya tak tentu seindah yang dibayangkan. Ketika sudah dibuka, ternyata mengejutkan. Ketentraman, mendapatkannya seolah begitu sulit. Bahkan, sedari kecil kata tersebut belum pernah dia...