*Dari hari kemarin, aku belajar bahwa 86.400 detik sangatlah singkat dan yang menjadi sesalku adalah waktu itu terbuang tanpa hasil. Setelah ini, kuharus siap mendengar jerit tangis dalam benak juga kesendiriannya."
°Alanzo Galaksa°
.
.
.***
"David lagi jadi tontonan anak-anak DA!" Seruan tiba-tiba dari Lando membuat Alan juga sahabat lain yang tengah asyik menikmati istirahat dibuat terkejut atas berita darinya.
Cowok paling tinggi di antara kelimanya itu mendekati mereka dengan napas masih tersengal-sengal. Dia tadi izin tidak bergabung ke mari sebab harus mengikuti ulangan harian susulan yang mana diakibatkan oleh sakit.
Rangga menggebrak meja lalu beranjak meninggalkan tempat ramai ini. Disusul Alan, Barka, Tara sedangkan Lando sempat mengatur napas sejenak.
Di tempat berbeda dalam waktu sama, dua orang cowok berseragam rapi tengah berjalan melingkari satu siswa yang berhasil mereka hukum lantaran kejadian beberapa hari lalu. Meneliti pergerakannya. Baru tertangkap sekarang karena saat akan menemui atau bahkan sekedar mencari, selalu saja ada halangan.
Sebuah tongkat kayu diketuk keras menghantam halaman oleh si pemilik rambut lebat. "Jangan nunduk! Lo laki bukan, sih?" gertaknya kasar.
"Matanya buat lihat bendera! Jangan malah anak cewek yang lagi lewat di lantai atas!" tambah cowok berkumis tipis itu seraya melipat tangan di depan dada.
David mengikuti saja perintah tersebut. Bila membantah lagi, sudah tentu akan ada perdebatan panjang. Dia sedang tak ingin menambah masalah yang pasti melibatkan banyak orang. Beruntung, kawasan ini tengah sepi sebab lainnya ke kantin.
Cowok itu akan menyusul teman-temannya yang sudah keluar kelas terlebih dahulu. Entah memang nasib atau hanya kebetulan, yang jelas dia tiba-tiba berkeinginan menghapus papan tulis. Jadilah ada waktu untuk dua orang tadi menghadang tepat di ambang pintu keluar.
"Lo bener-bener siap bonyok, ya. Maksud lo apa kayak gitu, ha!" Seruan itu membuat pandangan David juga satu kakak kelasnya terpusat pada cowok berambut lebat yang jatuh menghantam tanah lantaran serangan oleh Rangga.
"Jangan senyum-senyum aja, Anjing!" sambung Rangga ketika si lawan hanya terkekeh sembari mengusap tetesan darah dari sudut bibirnya.
"Heh!" Melihat adegan tersebut, Alan yang baru saja tiba segera menarik Rangga ke belakang. Ditatapnya cowok itu tajam lalu beralih pada teman seangkatannya yang belum tersungkur. "Si David kenapa bisa dihukum gitu?"
"Katanya ... bos. Kok gak tau apa yang dilakukan bawahannya?" Cowok itu berdecih kemudian membantu partner-nya untuk bangkit. "Sistem gak jelas, ya, 'kan?"
Merasa bahwa kalimat tersebut bertujuan merendahkan Lasgar, Alan dibuat mengepalkan tangan. Rahang mengeras juga dada yang naik-turun bersiap melayangkan sebuah pukulan. Detik setelahnya, hal itu benar dia lakukan. Namun, tak sampai jatuh.
"Berani sindir doang! Sekarang gue tanya, lo beneran cowok? Sini, pake cara cowok! Jangan kayak cewek gatel cuma gunain mulut, tapi dilempar gitu aja nyali langsung ciut!" seloroh Alan kemudian menarik kerah seragam cowok di depannya.
"Biasa, Al. Kalo ada guru, baru mereka sok mau lawan. Padahal, skill di bawah rata-rata. Biar dilerai karena gak bisa apa-apa," cibir Lando.
"Tegas, sih, ucapannya di depan adek kelas. Sayang, sama Zara aja kayaknya bakal kalah," tambah Barka.
Lando dan Barka memang pandai menghina melalui kata-kata sedangkan Alan juga Rangga sudah tentu bertindak menggunakan tangan karena emosi mereka yang tidak bisa dikondisikan. Tara sendiri, cowok itu paling tenang karena pemikiran jernih lebih diutamakan ketika mencari akar permasalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanzo
Teen FictionBagi Alan, hidup itu seperti kado. Tampak luar biasa, tetapi isinya tak tentu seindah yang dibayangkan. Ketika sudah dibuka, ternyata mengejutkan. Ketentraman, mendapatkannya seolah begitu sulit. Bahkan, sedari kecil kata tersebut belum pernah dia...