Anindira Afshin Tara, gadis berusia lima belas tahun itu duduk di bangku taman yang letaknya jauh dari rumah. Dia pergi sendiri menggunakan taksi online yang ia pesan. Bahkan selalu sendiri tanpa di temani siapapun. Menurutnya, dia bisa menikmati kesendirian yang sangat tenang, damai dan tidak di ganggu oleh siapapun. Walaupun terkadang dia melihat segerombolan manusia berparas cantik tengah tertawa bahagia, dia tetap tidak peduli.
Dira meminum air mineral dingin yang kini bulir-bulir es nya sudah berjatuhan, pertanda air itu sudah tidak sedingin saat ia membelinya tadi. Meneguknya dengan perlahan menikmati setiap aliran air yang masuk kedalam tenggorokan nya yang kering, lalu menutup nya kembali seperti semula. Dia membuka buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Gadis itu mempunyai dua diary, yang satu kecil, satu nya lagi ukuran sedang. Biasanya yang kecil bisa ia bawa kemana-mana agar kesan saat dia pergi tak tertinggal begitu saja.
Anindira, atau biasa di panggil Dira. Saat Ibunya masih ada, dia sering di panggil 'Anin', menurut beliau Anin itu lucu seperti dirinya. Namun, sekarang beliau sudah tenang di alam surga, menunggu nya dengan senyum yang terpatri selalu. Setelah Ibunya pergi meninggalkan nya, dia di panggil Dira. Tidak mau, dan tidak akan pernah mau jika ada orang yang memanggilnya Anin, bahkan keluarga nya sekalipun.
Dira menuliskan betapa ia senangnya hari ini bisa duduk santai di temani angin yang menyapu indah rambut nya. Sesekali dia membenarkan letak masker yang menutupi setengah wajahnya, di tambah kacamata putih fantasi dan tersenyum manis walaupun tidak ada orang yang melihatnya.
Saat tengah asyik dengan tulisannya, ponsel yang ia letakkan tak jauh dari ia duduk berdering .
Kak Rafa is calling...
Melihat nama sang kakak tertera di layar ponsel, segera lah dia menggeser tombol hijau itu untuk menerima panggilan.
"Dimana?"
"Di taman, kenapa?"
"Sama siapa?"
"Sendiri, kan kak Rafa tau itu."
"Pulang sekarang, ini ada paket misterius lagi. Oiya sekalian nitip cuci muka gue, kemarin udah abis."
Dira mencibir.
"Idih, ada gajah di balik kerikil."Rafa tergelak. "Buruan balik, Ayah mau ngomong sama lo."
"Ayah udah pulang? Oke, aku otw pulang."
"Beliin gu-"
Sebelum ucapan Rafa berlanjut, segeralah Dira mematikan nya sepihak. Dia enggan ke minimarket hanya untuk membeli apa yang kakak nya itu mau. Sungguh malas jika harus mampir dahulu.
***
Dira kini sudah duduk di meja makan bersama Ayah dan Rafa. Luas meja nya juga hanya cukup untuk lima orang yang sudah di desain sedemikian rupa waktu keluarga mereka masih utuh. Ya, Dira harusnya mempunyai dua kakak. Namun, kakak pertama nya itu meninggal waktu mengantar sang ibu pergi menjenguk temannya yang sedang di rawat di rumah sakit.Saat di perjalanan, mereka berdua asyik mengobrol tak ingat sang kakak sedang mengedarai mobil dengan kecepatan sedang, hingga sebuah truk dari lawan arah dengan kecepatan tinggi mengalami rem blong dan menabrak beberapa mobil dan sepeda motor yang menewaskan kurang lebih lima orang termasuk ibu dan kakak nya. Waktu itu usia Dira masih tujuh tahun dan sudah mengerti mengapa sang ibu kini denga cepatnya di panggil oleh sang Maha Kuasa.
"Dira, Ayah mau bicara sama kamu." memandang Dira dengan lekat membuat sang gadis itu menghentikan aktivitas menyuapkan sendok ke mulutnya.
"Ayah kan udah ngomong." jawabnya dengan polos.
Ayah nya dan Rafa terkekeh ringan.
"Bukan hanya kamu. Tapi kalian berdua, Ayah mau mengungkapkan sesuatu dan keputusan."
Rafa dan Dira terkejut mendengar apa yang Ayah nya itu bicara .
"Ayah kenapa?"
"Ayah mau nikah?"
"Apa Ayah pake narkoba?"
"AYAH PUNYA PENYAKIT SERIUS?"
Lontaran pertanyaan kedua anak nya itu membuat Yuda-ayah mereka-tertawa keras. Yuda menyentil kening mereka saat kedua nya tengah memeluk dengan air mata yang dibuat-buat dengan air di gelas.
"Bukan, duduk dulu yang bener." mendorong Rafa dan Dira ke tempat duduknya masing-masing yang saling berhadapan.
Dengan santai, Rafa dan Dira memakan makanannya kembali.
"Jadi gini, untuk Dira kamu mulai hari senin akan sekolah seperti yang lain. Bukan homeschooling lagi." kata Yuda dengan tenang.
Rafa dan Dira terkejut bukan main mendengar penuturan sang Ayah yang terdengar sangat santai. Ini Dira loh, yang takut sama orang-orang.
"Loh kok gitu, Yah? Dira nggak mau." tolak Dira mentah-mentah.
"Tumben Ayah gitu, emang ada apa?"
Yuda menghela napas pelan. "Umur kamu sudah lima belas tahun, dan kamu harus segera masuk sekolah yang sama dengan kakak mu ini. Ayah juga tadi nya khawatir, takut kalau kamu kenapa-kenapa. Tapi, karena ini demi kebaikan kamu. Kamu harus berani, kamu nggak boleh takut sama orang-orang."
Mata Dira berkaca-kaca, siap menumpahkan air terjun yang siap meluncur.
"Tapi Ayah, Dira takut kalo ada anak yang nakal."
"Lo nggak bakal di nakalin, gue bakal jaga lo. Tenang aja."
"Ayah kemarin sudah berbicara pada dokter Lina bahwa kamu memang harus melawan rasa takut mu itu. Kamu nggak boleh begini terus. Seusia mu itu harus banyak-banyak berkreasi, main-main, sosialisasi sama temen. Kamu juga emang nggak ngerasa bosen mandang laptop sama ponsel mulu?" ucap Yuda dengan panjang lebar yang di balas gelengan polos oleh Dira.
Rafa masih terlihat tenang, entah kenapa hari ini dia merasakan lapar yang teramat sangat. Hingga malah mengurusi permasalahan Dira yang akan pindah ke sekolah Formal.
"Kamu nggak bosen jomblo mulu? Di sekolah Kak Rafa banyak populasi cowok ganteng, Ayah pun dulu lulusan dari sana."
Rafa mengernyit dan mencebikan bibir. "Nggak usah percaya, Dir. Sekolah gue baru di bangun dua puluh tahun yang lalu. Nggak usah aneh-aneh, deh, Yah. Ayah kan lulusan Jakarta."
Yuda menepuk keningnya pelan menandakan bahwa ia lupa. "Oh iya, Ayah lupa. Dulu Ayah memang lulusan Jakarta. Duh, faktor jomblo."
Kedua anaknya yang mendengar pun mencibir heran karena tingkah Ayahnya yang sangat humoris hingga menurut mereka sangatlah garing jika bagian itu dijadikan bahan lelucon.
"Yah, Dira ... nggak mau." sahut Dira dengan kepala menunduk, makanannya hanya menyisakan wortel dan tomat yang tak ia sukai.
"Kenapa? Kakak mu kan bakal ngejaga, ini permintaan Ayah yang terakhir buat kamu. Terima, ya?"
"Halah, bentar lagi juga bakal minta buat ngurusin butik." cibir Rafa.
Yuda menyentil kening putra keduanya itu.
"Heh, diem dulu." Rafa yang di sentil pun hanya menyengir polos memandang Ayahnya yang melotot ke arahnya.
"Dira nggak mau!" kata Dira sambil berlalu dari ruang makan.
Rafa melirik ke arah Yuda yang sedang menatap nanar punggung Dira yang kian jauh menuju kamar nya yang berada di lantai dua.
"Biar Rafa yang ngomong, ya, Yah?" tawar Rafa dengan mengelus tangan Ayahnya menenangkan.
Yuda hanya mengangguk pasrah, semoga saja sang anak mau untuk bersekolah di luar sana layaknya anak seusia nya.
***
TUNGGU KELANJUTANNYA!🤗
![](https://img.wattpad.com/cover/203724241-288-k77342.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARRA--
Teen FictionJadi diri sendiri itu perlu. Tidak usah mengikuti gaya atau perilaku orang lain guna mendapat pujian. Gadis cantik ini juga sangat malu terhadap wajahnya, dia juga sangat malu berinteraksi terhadap semua orang. Namun, seseorang telah membuat hidupn...