KEDUA - Sekolah Baru

60 14 9
                                        

Rafa membuka pintu kamar adiknya yang tak terkunci, menyelonong masuk ke dalam dan mendapati Dira sedang duduk di karpet memandang ke arah jendela yang sengaja di buka guna membuat angin yang sepoi-sepoi itu masuk ke dalam.

Sinar matahari yang perlahan memudar, membuat cahaya berwarna oranye cerah menyelimuti tubuh Dira yang sedang melamun sambil kedua tangannya yang sibuk menyobek-nyobek kertas berisi kan coretan gambar bunga mawar kesukaannya.

Rafa duduk di samping Dira, sekilas gadis itu melirik lalu menghadap kedepan lagi menikmati cahaya yang sebentar lagi berubah menjadi gelap.

"Ayah itu bener-bener khawatir sama lo. Dia takut kalo lo selamanya di dalem rumah, ayah juga pengen lo itu punya temen secara nyata. Bukan cuma lewat sosial media." kata Rafa tanpa menoleh.

Dira menghembuskan napas pelan.

"Tapi, kak, gue nggak mau. Gue... terlalu takut." kali ini gadis itu memainkan jari-jarinya menundukkan kepala dalam-dalam menahan air mata yang hampir terjun.

Rafa tersenyum, mengelus rambut adiknya dengan lembut.

"Kejadian yang dulu itu murni kecelakaan, bukan salah siapa-siapa. Itu udah jadi takdir, lo nggak perlu nyalahin takdir. Apalagi dengan cara lo ngurung diri di rumah tanpa sosialisasi. Gue mau lo bahagia seperti anak gadis lainnya, Ra. Mama sama Kak Riski juga bakal seneng kalo lo mau berubah." balas Rafa, lalu mengambil sesuatu dari dalam saku celana pendek nya.

Rafa menyerahkan benda itu ke depan Dira.

"Apaan, nih?" tanya Dira dengan kernyitan di keningnya.

"Masker muka, lah. Gambarnya Spongebob kesukaan lo. Betapa baik nya diri gue." jawab Rafa dengan cengengesan.

Dira pun ikut tertawa kecil mendengar ucapan Rafa.

"Tapi, gambar Spongebob nya cuma satu. Gambar lagi aja ya? Yang kecil-kecil."

Rafa mengangguk menandakan setuju dengan ucapan Dira. Selagi dia bisa membuat adiknya bahagia, kenapa tidak?

Dira beranjak ke arah meja belajar, mengambil crayon dan spidol berwarna kuning. Lalu kembali ke Rafa, duduk di samping kakak nya itu. Menggambar kartun kesukaan nya dengan spidol untuk membuat pola nya, kemudian di warnai menggunakan crayon senada dengan pola nya.

Rafa yang sedari tadi hanya diam memandangi sang adik tengah sibuk mengurusi rambut panjangnya yang selalu menjuntai ke bawah menutupi gambaran di masker itu. Dengan tingkat ke peka-an nya, Rafa mengambil ikat rambut yang tak jauh dari sana lalu menarik paksa rambut Dira.

"Aduh!" pekik Dira.

"Berisik, diem dulu."

Setelah selesai dengan ikat rambut Dira, Rafa membantu sang adik menggambar. Bukannya membantu mewarnai, Rafa mencoret pipi Dira menggunakan crayon yang tergeletak di samping nya.

Terkejut akan kejahilan sang kakak, Dira pun membalas dengan coretan juga di pipi Rafa. Pertarungan jahil pun tak terelakan, mereka berdua seakan kembali ke masa kecil saat tengah berebut snack dari dalam kulkas.

"Ih! singkirin nggak tuh crayon dari muka gue?!" sentak Dira.

"Nggak mau! Muka lo masih mulus gitu, lihat muka gue banyak coretan!"

"Siapa dulu yang mulai?!"

"Ck! Iya-iya." Rafa pun menyudahi kejahilannya, dan beranjak ke sudut ruangan kamar Dira. Mengambil sebuah kotak yang tadi sempat ia temukan di teras rumah.

Rafa menaruh kotak tersebut di depan Dira.

"Lagi?"

"Apanya?"

"Itu." menunjuk kotak yang di depannya.

Rafa mengangguk, lalu merobek kertas coklat yang membungkus nya secara rapih. Dari kotak-kotak sebelumnya yang di kirim oleh sang misteri memang tidak ada hal aneh, pengirim itu selalu mengirim kesukaan Dira. Entah itu buku diary bergambar Spongebob, topi, masker, hingga balon bergambar Spongebob.

Tapi, Rafa takut jika ada maksud dari semua ini. Dia takut, Dira akan kenapa-kenapa. Walaupun Dira tidak pernah memakai barang-barang yang di kirim sang misteri namun tetap saja Rafa harus berjaga-jaga.

***

"Yah, ini ... serius?" tanya Dira yang masih di dalam mobil dengan raut khawatir.

"Iya, Ayah mau kamu harus berani. Kamu anak ayah satu-satunya, makanya kamu—"

"TERUS AKU ANAK SIAPA,YAH? KENAPA AYAH TEGA SAMA BABANG CAKEP? KENAPA AYAH NGGAK JUJUR SAMA AKANG?"

Yuda yang jengah mendengar teriakan dari mulut Rafa pun menyentil nya dengan kasar.

"Diem!"

Rafa pun memajukan bibirnya cemberut, lalu keluar dari mobil ngambek. Sebelum masuk ke dalam, Rafa menyalimi tangan Yuda dengan sopan, tanpa diketahui Yuda, Rafa menyentil telinga ayahnya itu dan berlari sambil tertawa keras tanpa memerdulikan Yuda yang kesal melihat tingkah kelakuan anaknya itu.

"Yah, serius?" tanya Dira

Yuda mengangguk.

Dira hanya menghela napas pelan, kemudian keluar dari mobil. Tak lupa, dia memakai masker muka dan kacamata fantasi yang hampir mirip kacamata asli. Dia sangat ... takut. Malu.

Dira menyalimi tangan ayah nya lalu beranjak masuk ke dalam sekolah dengan perasaan gugup, badannya gemetar, kedua tangannya memegang erat tali tasnya seolah-olah tas nya itu akan jatuh. Sungguh, Dira ingin pingsan saja saat ini, tapi dia takut kalau banyak orang yang di repotkan.

Gadis itu berjalan dengan cara menunduk, banyak orang yang berbisik-bisik dengan topik dirinya yang mungkin saja menurut mereka aneh. Mereka pasti tahu, kalau gadis yang menunduk itu anak baru.

Dira berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri ataupun sekitar, dia tetap menunduk kan kepala . Mulutnya komat-kamit meminta pertolongan dan doa agar dia selamat menuju ke kelasnya. Eh, tapi kata ayahnya dia harus ke ruang wali kelas dahulu.

Dira pun langsung menepuk-nepuk keningnya lupa. Duh, dia ini sangat pelupa saking gugupnya. Dira berbalik arah dan langsung menepi ke sisi kiri, dia berjalan secara tergesa-gesa karena malu .

Tanpa di sengaja dan namanya Dira tengah menunduk, gadis itu menubruk dada bidang milik cowok jangkung tepat di depannya.

"Aduh!" pekik Dira dengan lembut.

"Eh, maaf-maaf. Lo nggak apa-apa?" tanya cowok tersebut yang langsung membantu Dira berdiri.

Mendapat sentuhan dari lawan jenis secara tak sengaja, Dira langsung terkejut dan menepis nya dengan kasar.

"Nggak usah pegang aku!" sentak Dira.

Koridor yang mulai ramai kini tiba-tiba sunyi senyap, seolah-olah tengah memandang dua orang lawan jenis yang sedang bermain drama.

Melihat suasana seperti itu, Dira langsung berlari menuju ruang walikelas nya dengan perasaan yang sungguh sangat malu dan takut. Hari pertamanya saja seperti ini, apalagi sampai dia lulus nanti.

Tuhan, jaga Dira baik-baik. Batin Dira.

***

TUNGGU KELANJUTANNYA 🤗

(+) 1 nov 2019

ARRA--Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang