Memang Begitu

102 16 4
                                    

Dari tadi pikiranku melayang-layang sibuk menerawang. Aku tidak memerhatikan pelajaran dan seperti yang kalian tahu apa yang akan terjadi padaku.

"Lavina Sadajiwa Elysia, coba ulangi apa yang baru saya katakan" perintah wanita itu.

Fidelya menyikutku, menyadarkanku yang tengah melamun.

"Ih apaan?" tanyaku padanya.

"Lah kok sewot ke gue sih? Itu Bu Yani manggil lo" ucapnya dengan nada sedikit kesal.

"Oh gitu, bilang dong dari tadi.
Iya Bu, ada apa?"

"Coba ulangi apa yang saya jelaskan tadi Lavina"

"Lah kok jadi saya Bu? Kan yang jadi guru kan Ibu, bukan saya. Gini lho Bu, Ibu yang di gaji pemerintah, kenapa jadi saya yang harus jelasin materi Ibu"

"Lavina, saya menyuruh kamu untuk mengulangi apa yang sudah saya jelaskan, bukankah itu kewajibanmu sebagai pelajar"

"Iya Bu, tapi saya belum mengerti Bu. Jadi saya ga bisa menjelaskannya kembali Bu"
bohongku padanya, mana mungkin aku bisa mengerti, jelas dari tadi pikiranku hanya diisi dengan apa yang diucapkan oleh Fidelya tadi pagi.

"Tentu saja kamu tidak akan mengerti, dari awal saya menjelaskan kamu tidak memerhatikan saya. Kamu tidak konsentrasi, pikiranmu bukan pada pelajaran ini. Jadi untuk itu Lavina, kamu disilakan untuk keluar dari kelas saya" titahnya padaku, nada yang di gunakan cukup datar namun mampu menembus hati.

Bicara tentang hati, ada teori yang mengatakan jika kalian dihadapkan oleh beberapa pilihan yang membuatmu bingung, maka ikuti kata hatimu. Apakah memang begitu nyatanya?
Jika setiap orang mengikuti kata hatinya. Mungkin kini aku akan merasakan hal yang aku harapkan sejak dahulu.

Kenapa aku hanya berharap, karena jika masih berada dalam fase ini. Aku selalu sadar dan ingat. Ini hanya sebuah harapan, yang bisa saja dikecewakan.

Manusia memang suka berharap bahkan menebar harapan. Mudah saja, memberi harapan namun tidak berniat untuk membuatnya jadi kenyataan.

Seperti hari ini, aku selalu berharap setiap detik yang aku habiskan, akan membawaku kepada kehidupan yang aku harapkan.

Jika tidak, ya apa boleh buat, karena pilihan yang di sajikan hanyalah diwujudkan atau dikecewakan.

Bagiku, dikeluarkan dari kelas tidak seburuk itu. Tidak sedikit siswa dari sekolah ini yang berada di luar kelas, entah itu untuk berolahraga, bolos atau bernasib sama denganku.
Mereka menikmatinya, begitu pula denganku.

Aku menuju perpustakaan sekolah, entah mengapa disana aku merasa damai. Apakah kalian mengira aku tidak menyukai keramaian? Tidak, aku menyukainya. Aku tumbuh dan besar diantara keramaian, sehingga mana mungkin aku membenci keramaian, jika aku membencinya sama saja aku benci akan kehidupanku.

Ketika memilih buku yang akan kubaca, dan pilihan ku jatuh pada sebuah novel. Aku jatuh hati saat membaca sinopsis buku tersebut. Tidak butuh waktu yang lama aku mencari tempat senyaman mungkin untuk menamatkan buku ini.
Kali ini aku ingin menyendiri, namun tampaknya semesta berkehendak lain.
Seorang gadis mendekatiku

"Hai, boleh gabung ga?" suaranya begitu lembut, wajahnya yang damai cukup mengalihkan duniaku. Aku menatapnya cukup lama.

"Gimana? Bolehkan?" ujarnya dengan nada sedikit memelas.

"Eeh, maaf. Boleh kok, duduk aja" kataku padanya sambil menunjuk kursi di hadapan ku, mana mungkin aku tega menolaknya. Jujur saja saat melihat wajah dan mendengar suaranya. Hatiku perlahan menghangat dan aku merasakan kedamaian.
Untuk mencairkan suasana aku pun bersuara.

"Eh iya, aku Lavina Sadajiwa Elysia dari XI IPA 1" ucapku sambil menyodorkan tanganku kepadanya. Ia menunjukkan reaksi yang cukup aneh. Aku merasa ada sesuatu yang sedang ia pikirkan saat mendengar namaku.

"Aku Larayna Shatara dari XI IPS 1, nama kamu bagus, aku suka" ucapnya dengan sedikit senyum yang dipaksakan.

Aku merasa cocok dengannya walaupun aku juga merasa ada sesuatu yang akan terjadi padaku setelah aku mengenal dirinya, tapi aku tidak ingin memikirkannya saat ini.

"Oiya nama panggilan kamu apa, kepanjangan deh kayanya kalau aku manggil nama kamu Larayna, atau singkat jadi Lara aja ya?"

Ya lagi dan lagi ia ia menunjukkan reaksi yang membingungkan. Raut wajahnya tiba-tiba berubah. Lalu ia kembali tersenyum padaku, setelah beberapa menit dengannya aku merasa ia lebih banyak tersenyum dibandingkan diriku. Aku penasaran bagaimana dengan kehidupannya. Sehingga membuatnya tersenyum setiap saat.

"Nama panggilanku Shasa, kamu bisa memanggilku dengan nama itu. Sudah cukup pendek bukan?" ujarnya padaku dengan nada sedikit mencemooh.

"Iyaiya, jam kosong ya?" tanyaku padanya

"Engga juga, tadi aku di keluarin sama Pak Anto gara-gara ga nyimak"

Aku tertawa, mengapa bisa kami bernasib sama. Ah mana mungkin kami memiliki nasib yang sama. Dia dengan segala kesempurnaan pada dirinya tidak akan membuatnya sama sepertiku.



•••

Hai hai, jumpa lagi. Maaf updatenya telat karena akhir akhir ini tugas dan kegiatan aku cukup padat.

Gimana sama ceritanya? ada yang bisa nebak ada apa dengan larayna?

heheheh, pada penasaran ga?

kalau ada typo tolong dimaafkan yaa ngehehe

jangan lupa vote dan comment ya biar aku makin semangat nulisnya

Sampai jumpa di chapter berikutnya

Bubayyy



Jiwa dan RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang