Sudah terhitung satu minggu, setelah aku mengucapkan kalimat demi kalimat yang cukup menohok pada Shasa, kami tak kunjung berbicara. Jangankan untuk bicara apabila kami berselisih, aku dengannya memalingkan wajah. Seperti dua insan di mabuk cinta yang malangnya sedang dirundung masalah.
Jujur saja, aku merasa tidak enak hati pada Shasa, bagaimana tidak. Diberi tumpangan dan makan olehnya lalu dengan enteng mulut ini mengeluarkan kata kata yang pastinya cukup menyesakkan.
Memang, bagian dari manusia yang satu ini identik dengan masalah. Tergantung bagaimana sipemilik mengendalikannya.
Bisa saja ia berperan dalam menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah.Kali ini aku memilih opsi kedua. Ya, menimbulkan masalah.
Tapi untuk masalah ini tidak cukup berpengaruh besar padaku, hanya persekian persen saja. Karna ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Apa?
Rumahku, satu satunya tempatku untuk kembali terancam akan digusur. Dunia sedang bercanda. Yang benar saja, kami yang tidak memiliki apapun selain diri kami sendiri harus angkat kaki sebelum bangunan kumuh itu dihancurkan.
Apa manusia di bumi ini sudah kehilangan rasa?
Tidak, mereka hanya mengabaikan rasa. Lama kelamaan jadi terbiasa, lalu hilang tak bersisa.
Menurutku seperti itu.
Untuk apa berbuat demikian?
Uang
Apalagi yang dibutuhkan di dunia ini selain uang?
Mereka rela kehilangan rasa demi uang.
Cukup. Sudah terlalu banyak kata uang kali ini.
Sekarang yang harus di pikirkan adalah bagaimana cara mempertahankan rumah itu dari penggusuran. Sebenarnya ada satu jalan keluar. Yaitu kami harus memberikan uang dengan nominal yang cukup besar kepada mereka.
Mudah bukan?
Hanya dengan uang, kami dapat menempati rumah itu lagi.
Kami diberi waktu selama 1 minggu untuk membayarnya jika mempunyai dana atau bersiap-siap untuk angkat kaki dari tempat tersebut.
Pilihan yang rumit.
Sama rumitnya dengan menghadapi manusia satu ini. Yang sudah mendiamkan ku beberapa hari ini, karna beberapa alasan.
"Fi, udah dong ngambeknya. Ga capek apa ngambek terus. Gue sedih tau di giniin. Gue ga punya siapa siapa selain lo. Maafin gue yah Fi. Mau yah?" pintaku padanya sambil memasang ekspresi memelas agar ia segera luluh.
"Lo tu sumpah ya, kalau gue ngambek bisa ga sih lo gausah bilang kalau lo ga punya siapa siapa selain gue, itu bikin gue ga tega sama lo. Padahal gue masih mau ngambek. Abisnya lo itu ga banget, tau ga?!" jawabnya.
"Iya Fi, gue salah"
"Kan lo itu bikin gue merasa bersalah sama lo. Padahal lo yang salah. Pertama, waktu pulang sekolah satu minggu yang lalu lo ninggalin gue dan pulang bareng sama Si Sasa itu ah siapa sih nama tu anak. Bodo amat ga penting, oke lanjut. Kedua, gue ngajakin lo belajar bareng tiga hari yang lalu lo nolak gue alasan lo waktu itu lo lagi ga enak badan, oke fix gue percaya eh ternyata gue liat lo lagi kerja di toko kue langganan nyokap gue. Lo bisa ga sih jujur sama gue Vin? Kita kenal udah lama. Kenapa lo tutup-tutupin itu semua? Gue udah anggap lo itu sodara gue, gue minum dulu seret nih soalnya. Oke lanjut. Yang ketiga, kenapa lo ga cerita sama gue kalo panti mau dihancurin dan kalian semua digusur dari sana? Ssstt jangan ngomong dulu. Gue tau jawaban lo. Lo ga pernah nyusahin gue Vin. Berhenti berpikiran bahwa lo itu nyusahin gue terus. Ga pernah Vin, ga pernah. Dengan lo ga cerita itu yang bikin gue susah." ujarnya panjang lebar
"Maaf, gua ga bisa melakukan pembelaan karena yang lo bilang semua itu bener"
"Bagus kalau lo tau itu. Udah ah capek gue ngambek terus ama lo. Gakuat sumpah, sini peluk dulu. Gue kangen." jawabnya sambil merentangkan tangan
Kami berpelukan, setiap Fidelya memelukku ia seperti metransfer energi ketubuh ku agar aku tetap kuat.
Lavina Sadajiwa Elysia memang anak yang kuat.
"Fi, gue laper. Ngantin yuk"
"Gue juga, laper gue abis ngomong panjang lebar, btw lo harus ceritain gimana itu panti bisa digusur dan kita sama sama cari jalan keluar, oke? "
Aku hanya tersenyum mendengarnya, aku sangat beruntung bisa mempunyai sahabat seperti Fidelya. Semoga aku dengannya bisa selalu seperti ini.
Setelah menceritakan semuanya pada Fidelya, ia menyarankan kepadaku untuk mendapat dana sebesar itu dengan meminta anggaran sosial dari perusahaan yang ada dikota ini. Sebenarnya hal ini sudah sempat terpikir olehku. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak cukup berani dan aku tidak yakin akan hal itu. Tapi Fidelya menawarkan bantuan, ia akan meminta bantuan pada ayahnya karena ayahnya cukup berpengaruh besar dalam dunia seperti itu. Ayah Fidelya akan membantuku mendatangi perusahaan perusahaan yang kemungkinan akan membantuku.
•••
Cmiww, akhirnya update. Maafkan keterlambatanku ini untuk update
Jujur aja akhir-akhir ini jadwal sangat amat teramat padat.
Gimana sama chapter kali ini? Udah ada yg bisa nebak?
Maaf ya kalau kalian ngerasa cerita ini terlalu lama progress nya, ya karena emang gitu. Eheee
Kalau ada typo, maap yee:))
Nikmatin aja
jangan lupa vote dan comment biar aku makin semangat buar nulisnyaa eheeSee you on next chapter

KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa dan Raga
Teen FictionSebuah kisah dengan awal yang sama, proses yang berbeda, dan akhir yang entah bagaimana. Nyatanya, seorang jiwa harus menjalani takdir yang dipilihkan untuknya, tidak bisa mengelak bahkan menolak. Berharap semoga ini hanya ilusi semata namun memang...