Enggan berharap jadi apa
Lantas bagaimana
Seperti ini atau seperti sedia kala
Yang perlahan kian terluka-
Cukup dengan ulang tahun, sekarang saatnya bekerja. Pekerjaan yang dilakukan di toko ini tidak terlalu melelahkan tapi cukup merepotkan."Vina, sudah jam 6 kamu ndak sekolah? Biar mak aja yang lanjutin pekerjaanmu. Nanti telat kamu lho," ujarnya sambil membersihkan meja.
"Jam 6 mak? Duh alamat telat ini mak. Gapapa ni Vina tinggal mak? Kalau gitu Vina berangkat dulu mak. Terima kasih mak."
"Hati-hati kamu perginya. Bagus bagus sekolahnya biar sukses." sambil mengusap kepalaku.
"Siap mak!" lalu aku meninggalkan toko.
Astaga sekarang hari Senin, jalanan padat merayap. Aku masih belum mendapat angkutan sedangkan gerbang sekolah akan tutup dalam 30 menit lagi. Ada satu pilihan yaitu naik ojek. Namun berat di ongkos.
Dari kejauhan aku melihat sebuah motor yang cukup familiar. Pasti kalian tahu apa yang akan aku lakukan, ya aku melambaikan-lambaikan tanganku lalu si pengendara mengurangi laju motornya dan berhenti tepat dihadapanku.
Baiklah, meminta bantuan dengan nada memelas namun sedikit memaksa tidak apa-apa kan.
"Lo Adibrata kan? Gue Lavina. Boleh nebeng nggak? Dari tadi gue nungguin angkot tapi penuh semua sedangkan 25 menit lagi gerbang ditutup dan sekarang hari senin kalau telat lo tau kan hukumannya," paparku dalam satu tarikan napas.
"Yaudah naik." sambil mengarahkan kepalanya ke jok belakang.
Baik teman-teman Lavina akan berangkat sekolah dengan seorang Adibrata Nandana.
Tidak ada percakapan diantara kami, kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya yaitu ketika ia bersedia mengangkut ku untuk sekolah. Aku pun tidak berniat untuk membuka percakapan. Bukan aku tidak mau berbasa-basi tapi dikondisi ini kami tidak cukup mengenal satu sama lain. Aku awalnya tidak yakin ia masih mengenal ku mengingat dulu kami pernah dalam satu gugus sewaktu Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah."Dib, gini duh gimana ya," demi apa aku bingung mulai darimana.
"Kalau mau ngomong ya ngomong aja "
Turun Lavina turun. Malu-maluin
"Gue sebenarnya ga enak nebeng gini sama lo, secara kita nggak begitu dekat,"
"Membantu seseorang nggak harus kenal,dekat,ataupun akrab dulu. Kalau nunggu akrab dulu, pasien-pasien di rumah sakit keburu lewat karna harus mengakrabkan diri dulu sama dokter biar di tolongin."
"Bener sih, tapi ini kasusnya beda. Hati manusia kan nggak ada yang tau. Bisa aja nih sebenarnya alasan gue nebeng biar bisa modus sama lo secara lo kan—" ujarku yang langsung di potongnya.
"Jadi sekarang alasan lo nebeng apa?"
"Ya supaya gue nggak telat ke sekolah lah karena rata-rata semua angkot ataupun bus penuh semua." ujarku spontan.
"Yaudah."
Yaudah doang? Jelas sekali disini siapa yang susah-susah memikirkan topik pembicaraan dan dengan santai nya mengakhirinya dengan kata "yaudah". Oke dia memang tak tertarik dengan percakapan ini.
Eeh kenapa jadi oleng-oleng seperti ini.
"Vin, kayanya ban motor gue bocor deh. Kita berhenti dulu"
"Gimana Dib?"
"Bocor, harus ditambal. Disekitar sini ga ada tambal ban dan kalau emang mau ditambal kita harus jalan sekitar 500 meter."
"Trus gimana Dib?
Belum sempat ia menjawab, sebuah mobil berhenti disamping kami.
"Adib, Vina? Kalian barengan? Motor lo kenapa Dib? Rusak?" yang bertanya ini adalah Shasa, ia tampak sedikit terkejut dengan kebersamaan ku dengan Adib.
"Bocor sha, kayanya kena paku deh. Mana bengkel masih jauh. Lo berangkat sama Raga? Kalau gitu gue nitip Vina dong sama kalian, nggak mungkin dia ikutan telat sekolah karena harus nambal ini ban dulu."
Aku mendadak iri, ketika bicara denganku sesingkat-singkatnya kisaran dua sampai enam suku kata dan sebentar ini ia berbicara panjang lebar. Pasti ada apa-apanya.
"Eh, nggak usah. Gue bareng lo aja Dib, kita tambal aja dulu," tolakku, karena aku masih tidak enak hati dengan Shasa atas kejadian seminggu yang lalu.
"Dib, lo titip aja dulu motor lo. Ntar telpon orang rumah buat jemput. Lo sama temen lo bareng kita aja. Daripada telat". Itu bukan Shasa tetapi dari seorang laki laki yang bernama Raga.
Raga Aryasatya Albern.
Bohong kalau aku tidak tercengang melihat Raga tepat didepan mataku. Tadi Adibrata dan sekarang Raga. Cukup cuci matanya kembali ke tujuan awal Lavina.
"Oke, kita ngikut." putus Adib.
Bagaimana lagi, keputusan ada pada Adib, tidak mungkin aku dengan songongnya menolak tawaran mereka. Lagian tidak ada pilihan lain. Bukan aku tidak suka ditolong. Tapi masih terbesit rasa tidak enak hati pada Shasa setelah kejadian itu.
Shasa menarik tanganku. "Yuk Vin, kita duduk dibelakang aja,"
"Eh iya Sha"
Didalam mobil suasana tidak secanggung aku dan Adib saat diatas motor tadi. Raga dan Adib melontarkan gurauannya yang selalu saja di respon oleh Shasa. Sepertinya mereka sangat dekat. Aku merasa seperti penyusup yang ingin menghancurkan lingakaran pertemanan mereka.
Tidak.
Bukan urusanku.
Tiba-tiba Shasa bertanya padaku perihal mengapa aku bisa berangkat bersama Adib.
Aku sedikit terganggung dengan nada yang digunakannya, belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Adib langsung mengambil alih."Tadi kita ketemu di perempatan, Vina nunggu angkutan tapi penuh semua yaudah kita bareng."
Air muka Shasa berubah tetapi sepertinya ia segera mengembalikannya.
"Tumben banget lo Dib mau boncengin orang pakai motor lo selain gue," Shasa berujar dengan nada sedikit menekankan kalimat bahwa hanya dia seorang yang diperbolehkan oleh Adib untuk nangkring diatas motornya.
"Shasa..." ujar Raga memperingatkan.
"Kenapa Ga? Kan emang bener," Shasa membela diri.
Baiklah, aku bisa membaca situasi ini. Agaknya ia entah tidak percaya atau tidak suka dengan keberadaanku disekitar lelakinya.
Iya, lelakinya Raga dan Adib.
Dari kalimat kalimat yang keluar dari mulutnya tadi hanya menekankan bahwa dia adalah wanita kesayangan dari para lelaki itu.
Dan yang sepertinya membuat Shasa ternganga adalah ketika Raga mengajakku berkenalan.
"Ehm- kenalin gue Raga. Lo pasti tau dong,"
Oke tenang Lavina, dia hanya ingin memberitahu namanya."Gue Lavina. Lo pasti ga tau dong," ujarku mantap meniru suaranya tadi.
"Bisa aja lo Vin." ujar Raga lalu ia terkekeh.
Oke Shasa kita satu sama.
•••
Hai hai
Gimana bab kali ini?
Pasti masi diawang awang
Gapapa nikmatin aja
Jangan lupa vote dan comment yah
See u on next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa dan Raga
Fiksi RemajaSebuah kisah dengan awal yang sama, proses yang berbeda, dan akhir yang entah bagaimana. Nyatanya, seorang jiwa harus menjalani takdir yang dipilihkan untuknya, tidak bisa mengelak bahkan menolak. Berharap semoga ini hanya ilusi semata namun memang...