Assalamualaikum Wr. Wb.
Terima kasih atas apresiasnya untuk cerita-cerita di lapak ini...
Happy reading...
-
-
-
"Nggak ada cara yang lain?"
Keduanya langsung menoleh ke arah Acha yang sudah berdiri di samping Septin. Gadis itu mengambil tempat di sisi kiri Septian yang masih cukup ditempati 2 orang lagu. Memandangnya dan Septian bergantian sebelum menghela napas. Lantas menarik lembaran kertas yang tertulis alur peristiwa sebagai rencana mereka menyudahi kerumitan ini. Sebenarnya tidak rumit ketika mereka menerima saja alur hidup yang disusun oleh keluarga mereka. Tidak perlu mencari dan menemui Ify kembali dan menjalani hidup seperti 1 tahun belakangan ini. Hidup yang berusaha kuat ia terima lapang dada namun terus-terusan dibantah oleh hatinya. Rio memang berjenis kelamin pria yang mengenyampingkan hati dan mengunggulkan logika. Namun, setiap ia menahan protesnya terhadap penetapan hidup yang harus ia jalani secara logika, peran hati selalu berhasil menggoyahkannya. Hampir setiap pagi ia lelah karena tidurnya yang tak nyenyak. Ia selalu terbangun dengan perasaan khawatir sekaligus bersalah telah meninggalkan Ify hanya karena penolakan yang bisa dihitung jari. Dan bukan tanpa alasan pula ketika makan malam ia seringkali mengangkat nama Ify sebagai topik usai menyantap makanan.
Logikanya selalu berdalih "Move on, Rio. Hadapi masa depan tanpa membawa masa lalu yang selalu menghambat usaha untuk menerima keadaan. Bahagiakan kedua orang tua sebelum masa itu berakhir." Namun hati berhasil membantah dengan, "Banyak cara untuk membahagiakan orang tua. Bagaimana bisa bahagia kalau setiap malam dirundung perasaan bersalah". Ya. Hidup Rio setahun ini memang banyak sisi feminimnya.
"Ini terlalu beresiko kalau kalian gagal." dengan kening mengerut rapat Acha menambahkan, "Akan nambah masalah. Ruang gerak kalian makin terbatas, Ify makin menderita. Kalian yakin mau direalisasiin?"
Pertanyaan itu membuat Rio maupun Septian meneguk ludah dan saling tatap. Mau dibantah, tapi mereka meyakini bahwa wanita memang lebih jeli dibanding kaum mereka, dan yang pasti lebih menggunakan perasaan. Mengingatkannya bahwa sosok yang mereka perjuangkan adalah seorang gadis remaja berusia 17 tahun.
"Ya udah nanti dipikir lagi." Rio mengedikkan dagu pada Acha ketika melanjutkan, "Loe bantu revisi."
"Kemana loe?" tanya Septian melihatnya beranjak mengambil kunci motor matic Acha yang tergeletak di meja tamu.
"Nyariin Ify. Perasaan gue gak enak. Gak balik-balik dia." jawab Rio sekenanya, "Pinjem, Cha."
Acha ngangguk aja. Gadis itu melirik jam tangannya ketika Septian kembali bersuara, "Emang jam berapa sih. Biasa juga pulangnya sore."
"Mau ashar, dan Ify pulang sore kalau dia ke sekolah buat belajar." Acha menekan kata terakhir menyadarkan Septian untuk segera bertindak seperti Rio.
Namun pemuda itu cuma ngangguk dan mengambil kertas oretannya bersama Rio tadi. Merasa khawatir sekaligus kesal karena perasaan tak enak Rio menular padanya dan sebenarnya Rio bukanlah orang yang tepat untuk mencari Ify, ia menepuk lengan Septian keras.
"Kamu masih gak ngeh? Hari ini Ify cuma pelepasan sekolah. Gak mungkin selesainya sampe sore." Septian masih diam sampai ia melanjutkan kalimatnya, "Dan dia juga gak mungkin pergi sama sahabat-sahabatnya yang pasti langsung pulang sama orang tua mereka. MASIH GAK NGERTI KAMU?" tutupnya ngegas sebelum berlalu meninggalkan Septian yang kalang kabut mencari kunci mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangulasi Cinta (Passion, Intimacy, Commitment)
General FictionSequel of Long Distance Love? Why not?