8. Bodoh

916 138 10
                                    

Keesokan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Bersama surat keterangan sakit milik Wonwoo aku berjalan memasuki kelas.

Sesampainya di dalam aku meletakkan surat itu di atas meja guru. Semua murid yang tidak mempunyai kesibukan terus memperhatikan pergerakan ku.

Tak terkecuali Hyesuh yang kemudian mengajakku bicara tak lama setelah aku duduk.

"Hey! Apa tadi itu surat keterangan sakit?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Tangan ku terlatih mengeluarkan buku di dalam tas lalu memasukannya ke dalam laci meja agar tidak begitu padat.

"Apa itu milik Wonwoo?"

Aku kembali mengangguk. Rasanya sangat malas mengeluarkan suara di saat semua pasang mata menatap ke arahku.

"Apa kondisinya baik-baik saja?" Seojin yang memiliki tempat duduk tepat di belakang ku ikut bertanya.

Aku menghela nafas. Ayolah.. Bodoh itu bukan sebuah masalah, tapi jika terlalu bodoh juga bukanlah hal yang bagus. Logikanya jika Wonwoo baik-baik saja mungkin dia sudah duduk dengan beberapa buku tebal di atas mejanya sekarang.

Selama jam pelajaran berlangsung aku terus memikirkan keadaan Mingyu. Si tinggi itu memang mempunyai Ayah seorang dokter dan sebuah rumah sakit megah di kota. Tapi keduanya tidak berada di pihak yang membantu. Terlebih aku mendengar istri Dokter Kim sangat jarang berada di rumah. Wanita yang menjadi ibu dari Kim Mingyu itu selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja. Lalu siapa yang menjaga Mingyu sekarang? Setidaknya aku berharap dia sudah mengobati semua lukanya.

Pulang sekolah aku di temani Hyesuh mencari Seokmin di sekitar gedung kelasnya. Aku mendengar Seokmin selalu pulang lebih awal dari murid yang lain bahkan sebelum bel berbunyi, dan itu membuat ku sangat kesal. Bagaimana mungkin aku bisa mencarinya jika kelas ku saja selalu pulang lebih lambat dari kelas yang lain.

Kini aku dan Hyesuh sedang menyusuri lorong menuju kamar mandi siswa. Beberapa orang terlihat masih berlalu lalang.

"Kenapa kau mencari pemuda itu? Maksud ku siapa namanya?"

"Seokmin"

"Ya, kenapa kau mencarinya?"

"Aku ingin bertanya sesuatu"

"Kau tidak memiliki nomor ponselnya?"

"Tidak"

"Ohh ini merepotkan.."

Aku menghentikan langkah ku. Hyesuh melakukan hal yang sama. Aku menatapnya, hanya seperkian detik, lalu kembali berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Hyesuh menjadi tidak nyaman. Dia mendapat aura lebih dingin dari ku setelah itu. Dan fakta aku tidak bisa menemukan Seokmin membuat mood ku semakin buruk. Aku terus mengabaikan gadis di sebelah ku, bahkan saat kami memutuskan untuk pulang, aku tidak mengucapkan kalimat perpisahan padanya.

Penyesalan pun terjadi saat aku sudah berada di dalam mobil, tak seharusnya aku mengabaikan Hyesuh karena masalah pribadiku, gadis itu sudah sangat baik dengan mau berteman dengan ku. Bahkan akhir akhir ini dia selalu menemani ku dan mengajak ku bicara. Peran nya melebihi ekspetasi dan harapan.

Dengan cepat aku mengambil ponsel ku, mengaktifkannya lalu mencari kontak Hyesuh. Aku mengetik beberapa kalimat permintaan maaf lalu mengirimnya. Aku harap Hyesuh dapat mengerti. Aku tidak bisa kehilangan teman baruku setelah bertahun tahun hidup menyendiri.

Di tengah perjalanan mobil yang ku tumpangi berhenti, bukan karena lampu merah atau terjebak kemacetan. Tapi kali ini sang supir meminta izin untuk pergi kedalam toko guna membeli pesanan ibu ku yang begitu amat penting hingga tidak bisa di tunda.

Saat pak supir kembali aku mengerang karena yang ia beli berupa 5 pak perban dan 3 botol obat merah ukuran besar. Itu terlalu banyak untuk kebutuhan satu orang saat ini.

"Wonwoo tidak membutuhkan sebanyak itu bukan?" pertanyaan ku membuat pak supir menunduk takut. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk memarahinya.

"Maaf, Tuan. Apa saya harus mengembalikan separuhnya?"

"Apa itu bisa di lakukan?"

Pak supir menatap toko yang baru saja ia datangi dengan sendu, "Entahlah, Tuan. Saya akan mencoba" tangannya bersiap membuka pintu mobil.

"Tidak, tidak perlu. Kau hanya akan membuang waktu. Sekarang lebih baik antar aku pulang"

"Baik, Tuan"

Selama sisa perjalanan, aku terus menatap plastik putih yang berisikan perban dan obat merah itu. Pikiran ku yang semula tertuju pada Hyesuh, Mingyu dan Seokmin kini sepenuhnya teralihkan pada saudara ku.

Tepat di ujung persimpangan terdapat kedai minuman yang selalu Wonwoo kunjungi di akhir pekan. Si tampan itu akan membeli satu cup berukuran besar setelah ia berolahraga. Aku sering menguntitnya, mencaritahu apa yang ia sukai hingga mulai membiasakan diri untuk menyukai hal yang sama.

Terlintas keinginan untuk membeli minuman itu sekarang, namun apakah Wonwoo akan menyukainya? Maksud ku, dia dan aku tidak begitu dekat, rasanya sangat canggung untuk memberi sesuatu secara percuma tanpa alasan dan kepentingan yang jelas.

Tapi ini hanya minuman, sekedar barang yang dapat di konsumsi dengan harga yang relatif murah, jika Wonwoo menolak nya pun bukanlah masalah yang besar, mungkin aku hanya akan merasa sakit hati.

"Pak, tolong berhenti di kedai itu sebentar, aku akan membeli sesuatu"

"Baik, tuan. Apa perlu saya antar?"

"Tidak, terimakasih, aku bisa melakukan nya sendiri"

Cuaca sedikit mendung saat aku sampai di rumah. Satu pelayan wanita menghampiri ku, dia menawarkan diri untuk membantu ku membawa minuman milik Wonwoo, namun aku tersenyum dan berkata bahwa aku bisa membawanya sendiri.

Sesampainya di dalam rumah, ibu tidak terlihat di manapun. Mungkin wanita itu sedang keluar untuk membeli sesuatu.

Aku memutuskan untuk langsung menghampiri Wonwoo di kamarnya, jantungku berdegup kencang, gugup dan rasa khawatir terus menemani setiap langkahku.

Senyuman terukir saat aku melihat minuman yang aku bawa, aku berharap Wonwoo akan menyukainya. Dan pintu kamar si tampan itu sudah terlihat beberapa langkah lagi, tiba tiba seorang pelayan keluar dengan gelas dan beberapa piring kotor dari sana. Gelas dan piring itu terlalu banyak untuk ukuran porsi makanan Wonwoo. Pelayan itu tersenyum kala melihatku.

"Permisi, Tuan" ucapnya saat hendak melewati ku

"Tunggu!"

Pelayan itu berbalik dengan hati-hati, "iya, Tuan. Anda membutuhkan sesuatu?"

"Apa.. Wonwoo menghabiskan makanan sebanyak itu?"

"Ahh! Tidak. Tuan muda Jeon hanya makan sedikit dan sisanya di habiskan oleh teman wanitanya"

"Wanita?" Hatiku mencelos, apa itu kekasih Wonwoo? Sejak kapan dia berada di sana?

Tanpa banyak berpikir aku pun mendekat dan membuka pintu kamar Wonwoo dengan perlahan, di sana terlihat seorang gadis yang sedang menyiapkan obat yang harus Wonwoo minum. Gadis itu sama dengan gadis yang aku temui di Mall kemarin malam.

Tanpa berniat mengganggu aku kembali menutup pintu itu dengan perlahan, helaan nafasku terasa berat, dan kala aku menatap sesuatu yang aku bawa di tangan kiri ku, air mata lolos begitu saja, bersama satu kata yang hanya dapat di dengar oleh ku.

"Bodoh.."

🍁

TBC

Why Me?🍁 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang