5. Endless Struggle

2K 248 6
                                    

Namjoon berangkat bekerja begitu juga dengan Jungkook yang akan berangkat sekolah. Tapi hari ini ia tidak seperti biasa. Jungkook terlihat menunduk dengan jemari tangan gemetar yang tidak berhenti ia mainkan. Namjoon tidak bisa membiarkannya. Ia mendekat pada Jungkook dan memberikan pelukannya.

"Jika kau sakit, jangan berangkat sekolah dulu. Istirahat saja"

Jungkook membalas rengkuhan dari kakaknya tanpa berucap apa-apa. Sejenak mereka harus terdiam beberapa saat untuk saling berbagi kasih sayang. Jungkook mengambil nafas untuk ia tarik sedalam mungkin. Kemudian ia melangkah menjauh dari Namjoon tanpa mengatakan 'aku baik-baik saja, Kak Namjoon'.

***

Namjoon meninju permukaan kaca di rumahnya dengan keras. Ia tidak peduli pada luka yang akan ia rasakan setelahnya. Sesakit apapun luka pada fisiknya tidak akan sebanding dengan rasa sakit kehilangan yang akan selalu ia rasakan setiap detik dalam hidupnya.

Kedua bola mata Namjoon berkilat marah karena konversasi busuk yang sangat memuakan yang baru saja ia lakukan dengan Pimpinan baru bernama Min Yoongi itu.

"Jika memang tidak ada bukti dan saksi kita tidak akan bisa mengusut perkara sampai pengadilan. Saya tau kamu mengetahui tentang ini dengan sangat baik, Namjoon"

Namjoon makin menunjukan kilatan kemarahan kala mengingat pembicaraannya dengan atasan baru itu. Namjoon seakan sedang diremehkan. Hanya akan sia-sia mengharapkan mereka semua.

"Kenapa penyelidikan hanya sampai pada tiga hari setelah ditemukannya korban? Saya bisa profesional dalam tim ini!"

Masalahnya, memang ia bisa saja tidak profesional jika ikut dalam penyelidikan. Tapi ini tentang adiknya. Ia bisa melakukan apapun untuk Jungkook, demi dia.

Namjoon yang mendesak keputusan dari pimpinan barunya seakan tidak memiliki daya untuk melawan begitu juga Seokjin dan juga Hoseok yang sudah lebih dulu melakukan hal yang sama.

Namjoon tidak mendapatkan jawaban selain menunggu dan menunggu. Namjoon menjauhkan wajah dan juga bogeman pada permukaan kaca yang hancur akibat ulahnya. Ia tatap sejenak wajah yang dulu pernah dibelai dan menjadi favorit Jungkook. Adiknya bahkan mencium keningnya setiap kali Namjoon terlelap. Namjoon masih bisa merasakannya sampai hari ini.

Kematian Jungkook tidak akan pernah bisa ia terima. Jungkooknya tidak boleh pergi dengan kondisi yang setragis itu.

Mengingatnya, membuat kedua tangan Namjoon gemetar kuat. Kedua bola matanya sudah tergenang. Hatinya sakit oleh kenyataan, amarahnya mencuat karena kesedihan.

Siapapun yang melakukan hal keji pada adiknya, tak akan mendapat ampun darinya. Sedikitpun tidak!

***

Namjoon melangkah dengan kilatan netra yang tajam dan pastinya membuat semua orang lebih memilih menjauh dari pada menyapanya.

Namjoon kembali ke ruang kerja kepolisian dan mengebrak meja Seokjin dengan kerasnya. Semua kegiatan disana terhenti seketika. Ia mengira bahwa Namjoon sudah pulang ke rumah atau pergi ke suatu tempat. Namun nyatanya ia masih disini dan bahkan meluapkan kemarahan.

Seokjin menurunkan pandangan dan dapat ia lihat luka goresan cukup banyak dan dalam pada tangan kanan Namjoon. Ia sangat hafal kebiasaan Namjoon ketika ia marah.

Namjoon tidak akan segan untuk melukai atau terluka jika ia sedang emosi. Namjoon bukan orang yang pemarah, ia juga bukan sosok yang pemukul dan main tangan. Tapi untuk situasi seperti ini, Namjoon akan menjadi sosok yang berbeda.

Seokjin balik menatap Namjoon yang juga masih menatapnya dingin. Sejenak mereka saling menyelami sorot mata masing-masing. Persahabatan yang terjalin diantara mereka kini sedang diuji. Seokjin tidak pernah menyangka sahabatnya akan memiliki luka yang teramat sakit dan dia harus dituntut untuk menjadi pimpinan dalam penyelidikan pembunuhan Jungkook.

"Aku minta semua berkas penyelidikan kasus pembunuhan...Kim Jungkook"

Lihat, Namjoon sangat bisa untuk profesional.

"Joon,--"

"Aku masih anggota timmu dan kau tau benar aku seperti apa, Seokjin!". Namjoon tidak bisa menunggu. Ia tegaskan itu.

Seokjin menegakkan tubuhnya sambil menggebrak meja persis seperti yang dilakukan Namjoon. "Apa menurutmu kau bisa melakukan penyelidikan diluar kepolisian? Apa kau tidak memikirkan akibatnya?". Seokjin menghela nafas dalam, ia sedang berbicara dengan seseorang yang tengah kehilangan serta merasakan kesedihan jadi ia harus sabar. "Mundur sebentar untuk mendapatkan apa yang kamu mau. Fikirkan ini, Joon"

Namjoon justru menggelengkan kepala sambil terkekeh menyedihkan mendengar nasehat dari Seokjin. "Apa dia juga mundur saat menusuk tubuh Jungkook begitu dalam? Apa kau fikir dia juga menunggu Jungkook untuk lari saat dia membunuhnya?!". Namjoon sedang tidak bisa diajak bermusyawarah sekarang. "Dia menghirup oksigen dengan tenang sementara adikku..dia meregang nyawa dan sekarang aku tidak bisa melihatnya! Adikku mati, apa aku hanya akan tetap diam dan menunggu seperti ini?!!". Namjoon memukul-mukul dadanya sebagai pelampiasan amarah. "Dia memiliki seorang kakak yang bekerja sebagai polisi dan ketika dia mendapatkan perlakuan seperti itu, kakaknya harus tetap menunggu dan menyerah begitu saja. Apa seperti ini maksudmu, Seokjin?"

Namjoon akhirnya meluruh dan menghempaskan tubuhnya pada kursi dengan lemas. Ia tumpukan kepalanya pada kedua tangan. Ia pukul terkadang ia jambak rambutnya sendiri. Namjoon terisak. Air matanya tidak juga habis.

Seokjin mendaratkan telapak tangan kanan pada salah satu bahu Namjoon yang gemetar kuat. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Memang dia adalah ketua tim tapi dia tidak berdaya ketika pimpinannya sudah mengatakan untuk menghentikan penyelidikan.

Seokjin dan Hoseok saling menatap sebentar. Mereka merasa bersalah. Mereka juga telah dekat dengan Jungkook dan telah menganggapnya seperti adik sendiri. Seokjin dan Hoseok tidak pernah ingin ini terjadi. Mereka bahkan masih ingat raut wajah imut dan manis dari adik sahabatnya ini. Waktu memanglah teramat kejam untuk memisahkan mereka. Seokjin dan Hoseok juga sangat ingin setidaknya membogem wajah orang yang sudah membunuh Jungkook.

Namjoon bangkit, ia singkirkan tangan Seokjin dengan hanya menghempaskan lengannya. Namjoon tak balik menatap Seokjin atau Hoseok, atau siapapun disana. Tidak. Namjoon sudah kehilangan kepercayaan. Ia tidak bisa berharap pada mereka semua.

Namjoon bisa bergerak sendiri. Ia bisa balaskan dendam adik dan dendamnya sendiri. Namjoon akan menemukan orang paling brengsek yang sudah berani mengoyak kulit adiknya.

Jadi, inilah perjuangan Namjoon yang hanya seorang diri untuk menemukan si pembunuh.

Our Magic Shop // EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang