3. "Lo bilang akan membayar apa pun untuk tumpangan itu."

4.6K 106 1
                                    

IBUNYA benar, tidak ada masalah sama sekali untuknya mengikuti pelajaran. Tetapi memahami percakapan—topik sehari-hari dalam bahasa kasual—kelihatannya akan jadi PR baginya.

Rosalyn memasukkan buku teks ke dalam tas dan membuka ponsel. Dua belas lebih empat menit. Yang berarti tengah malam lewat empat menit di New York. Mana ia tahu ia ternyata bisa obsesif begini dengan kabar sekian ribu mil jauhnya? Buka twitter, sepuluh notifikasi baru tapi tidak ada satu pun yang berupa mention. Di Instagram, Sarah membalas pesannya dua jam lalu dengan sebaris tanda hati... dan justru tidak menjawab pertanyaannya. Janine dan Aria sudah baca pesan tapi belum menjawab. Oh, Aria mengunggah foto ke instastory empat puluh menit yang lalu.

Telunjuknya menekan profil Aria untuk beberapa saat. Mute profile.

Rasanya nyeri melihat wajah-wajah familier itu.

Mejanya diketuk. Rosalyn menoleh. Cowok di bangku sebelah tersenyum padanya.

"Minta nomor atau username LINE dong, biar gue masukin ke grup chat angkatan."

"Oh, right." Diejanya nomornya, kemudian untuk berjaga-jaga diberinya pulalah usernamenya. Sejurus kemudian ada notifikasi masuk dan Rosalyn menekan tombol accept. Ia mengerling kepada nametag di seragam cowok itu guna memastikan dan dalam kepala berdoa semoga, semoga, ia tidak salah mengeja nama. "Thanks, Dhana."

Dia orang yang sama dengan yang tadi pagi dipanggil ke ruang guru untuk memberikan tur singkat baginya bila ia membutuhkan; seorang anggota student council. Meski jangan tanya Rosalyn apa posisinya karena ia lupa. Yang jelas guru kesiswaan bilang Rosalyn bisa percaya padanya.

"Anytime! Jadi, kapan mau tur keliling sekolah, nih? Pulang sekolah nanti?"

"Boleh. Nggak ada jadwal? Extracurriculars or student council meetings..."

"Nggak, rapat council paling baru besok. Gue juga di tenis, tapi itu pun belum mulai latihan. Yah, dibanding Chevaliers, tenis kelihatan gabut." Dhana nyengir. "Lo baiknya juga mulai pilih klub."

Ia mengangguk-angguk. Ia dengar Chevaliers semacam kebanggaan Rajendra. Sekian deret prestasi dan wajah-wajah paling terkenal di sekolah. Di Nightingale-Bamford, Rosalyn bergabung dengan tenis. Meskipun untuk memilih klub yang sama terdengar menggoda sekarang, sebab setidaknya ia sudah kenal Dhana dan selalu berguna untuk mengenal satu wajah ramah, ia masih ingin waktu untuk memutuskan. Jakarta, dan Rajendra, belum benar-benar dipahaminya. "Nanti gue bilang. Once decided."

"Cool! Pulang sekolah nanti, ya, turnya. Gue samperin deh." Dhana berdiri, memanggul tasnya. "Nggak ke kafetaria?"

"Nanti. Sepertinya. Break till one o'clock, right?"

"Asal nggak kelamaan aja. Lo masih harus pindah kelas, kan." Cowok itu meloncat bangkit. Dia menggaruk daun telinganya, kemudian terkekeh lagi. Rosalyn bisa melihat telinga Dhana memerah. "See you. Jadwal kita beda habis ini."

Rosalyn membalas 'sampai ketemu' itu, kemudian melirik ke arah jadwal barunya. Jam satu, kelas di ruang 213... di mana pun itu. Nanti akan ia cek di buku panduan sekolah. Lebih mudah bertanya pada Dhana tapi saat ia mengangkat wajah, sudah tidak dilihatnya pemuda itu. Sang gadis memain-mainkan tepian kertas jadwalnya. Ini masih jam makan siang dan orang-orang yang menggunakan kelas ini berikutnya belum berdatangan. Rekan-rekannya di kelas ini juga belum menenteng pergi tas mereka. Tiga cewek bergerombol di dekat pintu kelas yang terbuka, membicarakan sesuatu—soal 'Chevaliers' dan 'Monster', soal 'ganteng parah' dan 'tapi itu badan penuh luka, ya.'

Jadi mengingatkannya. Pemuda itu—yang pagi ini, huh, terlibat insiden dengan dirinya di lift dan memboncengkannya ke sekolah—tadi sepertinya entah dihukum atau bagaimana oleh seorang guru bertampang seram. Rosalyn melihatnya sebelum ia masuk ke kelas ini. Ia tidak bisa tidak mengangkat alis pada keributan yang dibuat para penonton pada seorang murid yang bajunya dilepas di depan umum, membuat luka-luka di tubuhnya tampak. Like, is that even appropriate? Atau praktik semacam itu lumrah saja di sini? Ia menangkap nama dan suara kikikan tawa dari tiga cewek di sana. Dalam upayanya untuk mengenyahkan bayangan pemuda itu, Rosalyn menarik keluar sebuah buku dari dalam lacinya dan membuka ke halaman terakhir yang terisi. Ini PR dari tutor bahasa Indonesianya, seorang murid kuliahan semester akhir yang dibayar untuk memberinya instruksi dalam bahasa Indonesia percakapan yang cocok untuk lingkungan tinggal sang gadis.

I Slept With My StepbrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang