29. "Karena ada yang harus gue lakukan, ada yang harus gue cari tahu,"

1.4K 78 6
                                    

Seorang laki-laki dengan kemeja putih dan jas hitam tahu-tahu muncul menghampiri sudut tempat mereka berada dengan suara yang terdengar riang. Jindra menoleh ke arahnya, dan mengenali sosok itu sebagai si Caleg, coret, si Dompet Digital.

"It's really you! Gue sempat pikir gue salah lihat. Gue udah hubungin lo seharian ini buat ngajak berangkat bareng—" Kalimatnya terputus ketika langkahnya sampai di antara Rosalyn dan Jindra, dan tampaknya dia baru menyadari siapa orang yang bersama gadis yang diajaknya bicara. "Kak Jindra...?" Nada terheran-heran itu lolos selagi pandangannya bergantian memandang mereka berdua, "Kalian... dateng bareng?"

Rosalyn baru mau membuka mulut, tapi Jindra sudah lebih dulu bersuara. "Iya. Apa urusannya sama lo?" Suaranya keluar lebih jengkel dari yang dia mau akui, tangannya bahkan terlipat di atas dada dengan gestur mengintimidasi.

Si Dompet Digital terlihat kelabakan dengan pertanyaan dan aura tidak bersahabat dari Jindra, dan Rosalyn buru-buru menyelamatkannya. "Dhan, this is not a good time."

"Gue harap kita bisa ngobrol bentar." Ujarnya cepat, seakan takut gadis itu akan langsung pergi darinya. Dia lalu berdehem, melirik Jindra sekilas, lalu kembali ke arah Rosalyn. "Berdua aja, kalau bisa."

Jindra mengeluarkan decakan sebal. Dari awal dia tahu dia tidak suka anak ini, sikap sok akrabnya pada semua orang sudah membuatnya was-was sejak pertama. Dan sekarang cowok tidak jelas ini ingin mengusirnya dan mengajak Rosalyn bicara berdua? Jangan harap.

Tapi belum sempat dia protes atau mengeluarkan taring untuk mendepak si Dompet Digital pergi, tahu-tahu ada lebih dari tiga gadis yang mengeluarkan pekikan dan mendekati mereka. Lebih tepatnya mendekatinya, karena tangan-tangan itu tanpa permisi meraih lengannya.

"Kak Jindra di sini ternyata! Dicariin dari tadi sama the birthday girl." Salah satu dari mereka bersuara sambil mengikik.

"Ayo, Kak, kejutannya menanti."

"Apaan, sih, anjir, yang ulang tahun bukan gue ngapain pake ada kejutan!" Jindra protes dan hendak menyentakkan tangan-tangan itu agar menjauh, tapi kegigihan para cheerleader ini untuk menyeretnya pergi membuatnya kewalahan sendiri. "Gue bahkan nggak bawa kado."

Gadis-gadis itu saling berpandangan, lalu kembali mengeluarkan tawa kecil yang terdengar horor di telinganya. "You're the present, Kak."

Jindra makin keheranan dengan tingkah abnormal para pemandu sorak yang membuatnya curiga apa mereka kesurupan atau terjerat sekte sesat, sementara Rosalyn hanya bisa memandangi punggung Jindra yang menjauh ke tengah-tengah lantai dansa.

"Rose."

Kepalanya menoleh kembali ke arah Dhana.

"Gue kira karena nggak seharian nggak jawab pesan gue, lo nggak dateng."

"Bukan begitu." Ah, benar, ia belum menjawab ajakan Dhana di kafetaria saat itu. "Gue sebenarnya juga nggak berniat benar-benar dateng ke sini, lo tau sendiri gue nggak diundang."

"Tapi lo tetap dateng."

"Ya." Karena ada yang harus gue lakukan, ada yang harus gue cari tahu, ada yang harus gue rasakan sendiri.

"Dan bareng Kak Jindra."

"Itu—" Karena limpahan cahaya, ia tidak terlalu bisa melihat wajah Dhana sebagaimana mestinya. Tetapi sorot mata Dhana tidak terbuka, hangat, atau ramah seperti biasanya; membuat Rosalyn mengerutkan kening. "—itu urusan gue datang sama siapa akhirnya."

Dhana kelihatan terkejut. "Lo bahkan nggak ingat untuk kasih gue jawaban, tapi datang sama Kak Jindra?"

Bagaimana ia bisa mengatakan 'karena Jindra kakak tiri gue dan gue ingin memastikan sesuatu soal dia, bukan lo' tanpa menguak beberapa hal sekaligus? Fakta bahwa mereka bersaudara tiri, antara lain, atau bahwa ia memiliki perasaan pada Jindra. Rosalyn tidak pernah suka disudutkan seperti ini, oleh Dhana sekalipun. "Sekali lagi, itu urusan gue. Tanpa bermaksud kedengaran menyebalkan," tapi faktanya tidak akan berubah biar bagaimanapun juga, bahwa opini Dhana soal semua ini tidak masuk pertimbangannya, jadi tabrak saja, "tapi itu sama sekali bukan urusan lo, kan, gue datang ke sini sama Jindra atau yang lain?"

Pemuda di hadapannya membuka mulut, tapi belum sempat Dhana mengatakan apa pun, terdengar suara, "Kiss! Kiss! Kiss!"

Di dekat meja dengan kue ulang tahun bertingkat tiga, Nadya dan Jindra berhadapan. Rosalyn mengenali gaun yang dikenakan kapten cheerleader itu, dan mengenali pula postur tubuh Nadya. Ia sudah sering melihatnya di lapangan, Nadya yang matanya mengincar sesuatu dan tidak akan melepaskan sampai cakarnya berhasil meraih; terlepas dari sepasang tangan gadis itu yang tengah menyilang di balik punggung dan hampir membuat Rosalyn mendengus tertawa jika pemandangan itu tidak begitu absurd dan mengusiknya. Apa, kaptennya berpikir posisi seperti itu akan membuatnya kelihatan seperti cewek yang menunggu dicium dan bukannya akan mencium duluan? Seperti satu lantai ini tidak tahu apa yang akan terjadi, karena Nadya-lah yang jelas akan membuat gerakan pertama.

Dan karena yang ada di depan Nadya adalah Jindra.

Detik berlalu dengan seruan tidak tahu diri itu makin mengeras dan heboh, dan Rosalyn sudah tidak menggubris Dhana yang sedang bersamanya. Jika ia mengalihkan pandangan ia akan tahu bagaimana Dhana sudah tidak melihat ke arah Nadya dan Jindra melainkan memperhatikan Rosalyn sendiri, tapi pemandangan Nadya dan Jindra yang dilimpahi cahaya paling terang di ruangan ini adalah satu-satunya yang ia pedulikan. Nadya melangkah mendekat. Dari posisi Rosalyn berdiri ia bisa melihat punggung gadis itu tapi tidak dengan wajahnya. Rambut kapten cheerleaders itu kali ini tidak dikucir melainkan tergerai mengikal di punggung; warnanya yang kecokelatan menangkap cahaya. Di depan Nadya, Jindra setengah menundukkan kepala menatap si kapten cheerleaders. Rosalyn melihat rahang Jindra mengeras, tatapan matanya sama tidak lunak.

Biarpun ia mengenali apa arti sorot mata Jindra terhadap Nadya—minggir, sebelum gue bikin lo nangis—Rosalyn merasa sesuatu menyengat tubuhnya di beberapa titik. Hatinya panas. Ia resah, tidak suka, tidak terima...

Nadya berjinjit.

Jindra mengatakan sesuatu pada gadis itu, seraya mendekatkan kepalanya.

Rosalyn tidak bisa membaca gerak bibir lelaki itu.

Tangan Rosalyn terulur dan menyambar mengempaskan nampan yang dibawa oleh seorang pelayan yang berdiri di dekatnya dengan Dhana, menjatuhkan setidaknya satu lusin gelas kaca ke lantai dengan bunyi pecah yang mengalihkan perhatian ruangan itu mendadak ke arahnya sementara serpihan-serpihan kaca bersebaran, mengenai benda-benda, membuat Dhana berjingkat mundur terkejut, membuat Nadya menoleh ke arahnya dengan mata marah dan Jindra mengangkat wajah memandangnya.

Salah satu serpihan kaca itu melukai kakinya sendiri yang tidak tertutup bagian gaunnya yang begitu pendek, tapi Rosalyn tidak mengindahkan. Darah menetes di tulang keringnya, tapi yang ia rasakan terluka sekarang adalah sesuatu dalam dirinya.

Cewek ular, pikir Rosalyn, membalas tatapan Nadya dengan amarah yang serupa. Jauh-jauh dari Jindra.

"Gue keluar dari cheers," kata Rosalyn.

Suara-suara baru kembali setelah itu—pekikan kaget, seruan, riuh rendah orang-orang yang mendadak punya sesuatu untuk dikatakan, dan di antara suara itu ada suara Nadya, Jindra, dan Dhana juga. Tetapi Rosalyn tidak menggubris bahkan suara mereka sekalipun kecuali untuk mengalihkan pandangannya dari Nadya ke arah Jindra, yang terakhir kali.

Jindra harus tahu apa yang tengah ia rasakan saat ini.

Pertanyaannya terjawab sudah. Melihat lelaki itu didekati cewek lain terang-terangan seperti tadi menggurat hati Rosalyn.

Hmph.

Ia tidak rela.

Dan, cemburu.

***

😌

makasih banyak untuk yang sudah comment dan vote, yuk lagi biar kami bisa update lebih cepat hehe 💕

in these trying times, please stay safe and healthy xx

I Slept With My StepbrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang